(Kerja Superman, Upah Supermie)

Buruh Pendidik

Oleh: Syamsul Bahri Abd. Rasyid
(Dosen Ilmu Pemerintahan UNA’IM Yapis Wamena)

“Akademisi itu merdeka. Oportunisme membuatnya jadi budak.”
- Rocky Gerung –

Selamat Hari Buruh!
Selamat Hari Pendidikan!
Kita, baru saja merayakan peringatan Hari Buruh lalu menyusul Hari Pendidikan keesokannya. Sebagaimana hari-hari peringatan dan tanggal merah-tanggal merah yang lain, perayaannya kerap melahirkan kesan seremonial tahunan belaka. Setiap tahun, tepat di tanggal dimana kedua hari itu dirayakan, kutipan-kutipan heroik tak pernah alpa digaungkan. Quotes yang memesona, akan dikutip rutin setiap tahunnya, bak “ibadah” yang wajib ditunaikan dan digelorakan.

Buruh dan pendidik, memang oleh beberapa pihak, ditarik garis demarkasi yang tegas sambil menepuk dada dengan raut mata yang menyala-nyala. Dengan dalih dan dalil tentang strata status sosial serta tugas dan tanggungjawabnya, sebagian pendidik menolak untuk disebut buruh. Misalnya terkait kesejahteraan, bila mengutip Abdul Mu’ti (2024) dalam cuitan twitnya, pendidik dimungkinkan untuk meraih kesejahteraan material sekaligus spiritual. Sementara, bila secara kasar klasifikasi kesejahteraan itu kita sematkan pada profesi buruh, barangkali jenis kesejahteraan spiritual kurang pas untuk kita pasangkan, barangkali. Padahal, Soekarno sendiri pernah bersuara bila buruh dan tani adalah garda terdepan.

Bagi saya secara pribadi, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansial pekerja tersebut adalah buruh. Menyadur dari kolom opini kompas (13/4/2023) oleh Prof. Sulistyowati Irianto, saya menafsirkan bahwa pendidik, adalah buruh! Dengan alasan itu, maka tulisan ini hadir sebagai refleksi untuk dua hari (1 dan 2 Mei) yang baru saja diperingati.

Sirkulasi Setan Dunia Pendidikan.
Di hampir setiap podcastnya, Gita Wirjawan tak lupa-lupa menegaskan bahwa kualitas pelajar ditentukan oleh pengajarnya. Belum lagi dengan pikiran-pikiran alternatif dari Guru Gembul tentang pendidik, yang menyebabkan dirinya disomasi, gegara menyebut bahwa rerata guru di Indonesia tidak bermutu. Kita semua, sepakat bahwa pengajar yang kritis, bisa mendatangkan pelajar yang bermutu, begitu pula sebaliknya. Masalahnya, banyak pengajar yang dihasilkan dari proses sirkulasi setan.

Persaingan dalam dunia pendidikan, tidak lagi kompetitif secara substansial. Sekolah dan kuliah menjelma dunia birokratis, ruang eksploitasi, wahana berseliwerannya oportunisme, tempat saling beradu kelengkapan berkas administratif tanpa dilakukan pengecekan latar belakang mendapatkannya, ajang menonjolkan hasrat ingin diakui untuk menarik garis demarkasi, hingga relasi identitas yang homogen menjadi dasar untuk melanggengkan relasi kuasa. Lalu, pihak yang “kalah”, seperti biasa selalu menjadi sapi perah.

Sirkulasi setan itu, terus bekerja secara berulang-ulang. Kita tidak lupa dengan kasus pencatutan beberapa nama akademisi Malaysia oleh akademisi Indonesia, yang mencuat ke muka publik baru-baru ini. Fenomena serupa, sebenarnya bekerja di hampir seluruh kampus di Indonesia. Ada akademisi yang demi memiliki kredit point, meminta suaka kepada mahasiswa atau bawahannya yang kritis untuk disertakan namanya, hanya karena ingin meraih gelar tertentu. Untuk apa? Tentu saja untuk memberi penegasan secara congkak, bahwa dirinya memiliki gelar A atau B. Nah, beberapa orang yang menempuh dunia pendidikan (bila tidak tega untuk menyebut sebagian atau mayoritas), dilatari oleh motif itu. Kultur dan sirkulasi yang tidak sehat ini, bagaimana pun mesti diubah.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...