Jalan Terjal Pendidikan Kita

Oleh: Muhammad Hatta Abdan
(Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate)
Semua dari kita berhak merasakan manis pahitnya kehidupan di dunia pendidikan, tak ada siapa pun yang berhak membatalkan kehendak semua orang untuk berpendidikan, bahkan negara sekali pun. Yang mesti diselenggarakan hari ini dan seterusnya oleh negara adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, amanat ini tak boleh dirabah dengan tangan-tangan keberpihakan, semua generasi bangsa Indonesia berhak mendapatkannya.
Negara wajib mencerdaskan kehidupan anak bangsa melalui berbagai macam cara, salah satunya adalah pendidikan. Karena, dengan pendidikan kita dapat mengetahui segala yang ada di dunia ini bahkan pula dapat mengubahnya, seperti yang dibilang oleh Nelson Mandela bahwa “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia”.
Namun sayang, separuh dari generasi bangsa ini harus memilih menyerah dan tidak dapat sama sekali menikmati pendidikan yang ada hari ini, mereka tak dapat menyalurkan dirinya untuk mengubah masa depan bangsanya sendiri dengan cara berpendidikan, sebab ada jalan terjal yang menghambat mereka untuk turut merasakan perahu pendidikan.
Nyatanya, pendidikan kita masih saja berjalan ditempat dan miring sebelah, hanya mereka yang beruang yang dapat menjejalinya sampai jauh, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sejauh ini hanyalah amanat belaka, yang ada adalah kesuraman yang begitu mencemaskan bagi separuh anak negeri hari ini.
Perihal pendidikan kita, bukan sekadar berpendidikan untuk mengejar gelar atau belajar dengan tekun untuk mendapatkan IPK dan nilai yang sempurna, lebih dari itu pendidikan harusnya menjadi senjata untuk menyelamatkan bangsa dari kemelut yang dihadirkan oleh orang-orang yang rakus.
Bila mencerdaskan kehidupan bangsa saja negara tidak bisa, maka apa yang mesti kita harapkan dari masa depan pendidikan kita, negara mesti sadar bahwa minimnya anak-anak untuk berpendidikan bukan karena tanpa alasan, tapi karena begitu meroketnya biaya pendidikan yang hari ini semacam dijadikan sebagai bisnis dikalangan elite.
Hal inilah, yang kemudian menjadi petaka bagi kualitas pendidikan kita hingga hari ini, upaya untuk mengembangkan kualitas pendidikan kita bukan hanya dengan mengonta-gantikan kurikulum lama ke kurikulum baru, tapi ada soal yang mestinya lebih serius kita rubah dan lawan, yakni bercokolnya kapitalisme dan komersialisasi di tubuh pendidikan kita, sebab kapitalisme adalah momok paling bejat yang hidup disemua lini kehidupan, ia tak mau rugi dalam hal apapun, itulah mengapa segala hal yang hendak kita akses terasa berat dengan tingginya biaya yang disistemkan.
Di pendidikan kita hari ini, gempuran inilah yang akan membatalkan segala cita-cita anak negeri untuk beranjak jauh dengan perahu yang bernama pendidikan. Wajah pendidikan kita yang teramat terjal, dengan rendahnya minat anak-anak untuk melanjutkan pendidikan, kapitaliasi dan komersialisasi di dunia pendidikan, dan fenomena hampir terdegradasinya pendidikan diwilayah lingkar tambang hari ini.
Kesemuaan itu mewujud dalam satu isi kepala atas nama kecemasan, pendidikan tak lagi dapat menjadi ruang untuk bekas kan jejak dalam petualangan mencari ilmu dan mengasah kemampuan, ia telah seolah menjadi jalan terjal yang hanya beberapa orang yang mampu melewatinya, mereka adalah anak-anak yang dalam kategori mampuh.
Sedang yang orang tuanya hanya petani, tukang ojek, nelayan, dan kelas sosial paling rendah merasakan beban yang teramat kuat di dua pundak mereka bila hendak menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Seperti hasil survei yang dilakukan oleh Project Multatuli yang berkolaborasi dengan Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis), ada temuan tentang persepsi mahasiswa Yogyakarta terhadap biaya kuliah di Yogyakarta.
Kolaborasi ini merupakan upaya untuk mengungkap jungkir balik mahasiswa menghadapi biaya kuliah yang mahal dan penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tepat sasaran. Tentu, hal semacam ini bukan hanya terjadi di Yogyakarta, tapi hampir di semua kampus yang ada di Indonedsia.
Juga di Maluku Utara khususnya di wilayah lingkar tambang, minat anak-anak untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi teramat minim, kita bisa baca dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Khairun Ternate yang di muat di cerminmalut.com dengan judul “Tingkat Pendidikan Masyarakat di Area Pertambangan Maluku Utara Rendah”.
Beberapa persoalan yang menyentuh langsung di jantung pendidikan kita hari ini tentu dapat menjadi bumerang paling kelam bagi masa depan dan kualitas pendidikan kita, juga tanpa sadar akan pula berdampak pada kurangnya sumber daya manusia yang unggul di genarasi kita ini. Mahalnya UKT dibeberapa kampus hari ini, telah menunjukan betapa menguatnya kapitalisasi dan komersialisasi di ruang pendidikan kita, tentu hal ini akan menjadi mimpi buruk bagi generasi yang berstatus sosial rendah yang hendak meraup cita-cita di ruang pendidikan, inilah jalan terjal pendidikan kita.
Juga minimnya minat anak-anak di wilayah lingkar tambang untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi telah melumpuhkan berjalannya keunggulan-keunggulan sumber daya manusia ke depan, hal ini dipicu dengan asumsi bahwa bekerja sebagai buruh tambang dapat menghasilkan uang yang banyak ketimbang pergi melanjutkan kuliah yang hanya mengahabiskan uang dan membebankan orang tua.
Belum lagi, fasilitas yang tidak memadai ini juga turut membikin proses pembelajaran dalam ruangan tidak berjalan kondusif, hal ini dapat kita temukan diberbagai rilisan berita dan tulisan yang ada, seperti dalam tulisan Labib Ega Dillan Nugroho dengan judul “UKT Mahal dan Buruknya Fasilitas Belajar Menghantaui Mahasiswa”. Selain fasilitas yang tidak memadai, berbagai sekolah dipelosok juga ternyata masih sangat kekurangan tenaga pengajar.
Bila semua ini terabaikan dalam kacamata negara, maka apa yang mesti kita harapkan dari pendidikan kita di masa depan. Dan bila, pendidikan kita terus berada di atas rel kapitalisme, maka selama itu pula separuh dari anak bangsa akan terus kesulitan untuk menikmati manisnya pendidikan, serta akan menjadikan pendidikan kita sebagai pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, sebab ada konsekuensi yang akan terjadi, yaitu berkurangnya solidaritas di antara kita, dan yang ada hanyalah ego untuk merebut tempat nyaman diranah birokrasi. Negara harus melihat ini sebagai persoalan yang urgen, bukan hanya diam dan menjadikan pendidikan kita sebagai lumbung mencari untung.
Jalan terjal pendidikan kita, beragam hal yang telah penulis tuangkan di atas adalah wujud nyata yang dapat mendepak cita-cita pendidikan kita, oleh karena itu, penting bagi kita sekalian untuk selalu mewaraskan dan menjernihkan pikiran untuk menginterupsi kemungkinan-kemungkinan pendidikan kita terdegradasi ke jurang kehampaan. Sebab, dengan pendidikanlah sebuah negara dapat membawa rakyatnya ke jalan kemerdekaan sebagai upaya pembebasan serta kekuatan untuk melakukan perubahan dan pembaruaan.
Meski pun kenyataanya, pendidikan kita masih saja berkutat dan melekat dalam tali temali yang disistemkan oleh negara, dan juga cenderung ke arah yang tidak memanusiakan manusia. Bagi penulis, pendidikan bukan hanya perihal berburuh gelar sarjana untuk nanti mencari posisi terbaik dalam birokrasi atau, mencari pekerjaan untuk menunjang penghidupan, lebih dari itu, selain sebagai ruang pertumbuhan karakter, pendidikan juga adalah proses melatih kepekaan pada setiap problem sosial yang menindas dan menghisap, seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire bahwa “Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dengan cara yang manusiawi”.
Sejatinya implementasi pendidikan adalah mengabdi dan mewakafkan diri ditengah kehidupan yang dicekik oleh sistem yang kapitalistik. Mengakhiri tulisan ini, penulisan hendak serukan “Selamat Hari Pendidikan Nasional.!!”.
Sekian, dan selamat membaca.!!
Opini sudah terbit di koran Malut Post.
Komentar