Kapal Tidak Membawa Dia Pulang

Ilustrasi. (Budiono/Jawa Pos)

Oleh: La Ode Zulmin

____

Semilir angin berembus ketika mentari pagi mengintip dari punggung bukit, membasuh tubuh ringkih lelaki muda di ujung jembatan kayu yang sebagian papannya sudah ompong. Ia menanti ketidakpastian hingga merongrong kewarasannya. Ini berawal saat Bulan Purnama Sari pulang di desa untuk menemui lelaki muda itu.

Hanya sekadar bersua. Tapi kehadiran Bulan ternyata bagai angin lalu. Ia kecewa. Lantas, kapal membawa Bulan pergi tak tahu di mana rimbanya. Dan, saat kapal kembali ke dermaga desa, tak pernah lagi membawa Bulan pulang. Kekecewaan dan penyesalan rupanya tak dapat menyatukan mereka. Dan hidup lelaki muda itu, kian semrawut. Aneh. Mestinya Bulan yang terpuruk, bukan lelaki muda itu.

Syahdan, aku mulai penasaran dengan keberadaan lelaki muda di dermaga yang nyaris setiap hari tak pernah alpa itu. Aku lalu mengulik dan berencana menjadikan kisah sepasang kekasih yang tersiksa penantian.

***

RASA sesal datang menghampiri ketika aku mulai tergolek di atas kasur. Di sepertiga malam, nyanyian sunyi membawaku masuk suatu masa yang getir. Masa penuh kegamangan dan ketidakpastian. Sejak Bulan berangkat menuntut ilmu di pulau seberang, aku memang diam-diam main kucing-kucingan dengan menyembunyikan sesuatu hal padanya.

Dan, ketika ia datang menemuiku di desa, aku mulai membangun tembok pemisah. Lalu mengabaikan keberadaannya. Tapi memang aku belum siap bertemu dan berbagi cerita dengannya. Sebab, selain Bulan, aku juga mesti merawat hati Sekarwayang, perempuan selingkuhanku.

Kini, aku menyesal. Perasanku ambruk bak diterjang badai. Sekarwayang ternyata meninggalkanku, pun Bulan, kekasihku ikut pergi. Terakhir aku melihat Bulan di dermaga. Ketika ia masuk ke perut kapal sembari melempar senyum kepadaku, tapi seolah aku abaikan.

Ia tak tahu, ketika ia mulai masuk ke perut kapal, aku diam-diam memantaunya dari ruang tunggu. Sesekali ia menoleh ke daratan, melepaskan segala beban yang ia pikul. Hilang bersama gemuruh  mesin kapal yang bertolak dari dermaga. Di waktu yang sama, satu pesan darinya masuk ke ponselku. Itu pesan terakhir yang ia kirimkan.

"Aku pamit. Kelak kita takkan pernah bertemu. Sudah kuniatkan memang, aku takkan kembali lagi ke pulau di mana menampung ragamu." Sesaat pesan itu menohok diriku. Aku mencoba meminta maaf, tapi pesan tak pernah terbalaskan. Aku pulang berjalan sempoyongan memikul segunung penyesalan.

Sejak kapal membawanya berangkat ke pulau seberang, ia tak pernah kembali lagi. Kendati begitu, aku kerap menyambagi dermaga. Mengecek semua kapal yang datang, berharap ada Bulan di dalam sana. Tapi semua nihil.

***

SENIN, pekan kedua Juli 2011, aku mulai masuk sekolah. Ini merupakan sekolah baru saya di SMA. Tante Maiyah (kakak dari ibu), mengajakku ke pulau di desa ini. Setelah kematian kedua orangtua, tak ada yang mengurusku. Tante bersedia merawat hingga menyekolahkanku. Tante Maiyah cukup baik. Ia tak seperti yang  aku bayangkan: jahat sebagaimana wajahnya yang mirip singa lapar. Namun, begitulah perawakannya.

Pagi itu, setelah melahap sarapan yang dibuat tante, aku bergegas ke sekolah. Aku mencoba mengingat jalan menuju sekolah yang pernah tante tunjukan kepadaku. Ada dua jalan menuju ke sekolah. Yang pertama, melewati jajaran ruko-ruko. Kedua, jalan pinggir pantai dekat dermaga. Akan tetapi, jalan kedua yang aku pilih. Sebab, sambil berjalan kaki, aku suka menyaksikan mentari terbit dan suasana riuh dermaga.

Tepat di jalan melintasi pantai, aku menoleh ke arah dermaga. Tampak di ujung jembatan ada seseorang pemuda ringkih yang sedang duduk di ujung dermaga berbahan kayu. Entah apa yang dilakukan pria muda itu. Mungkin sedang menunggu kapal bersandar dan hendak mengambil paket kiriman. Aku tak menggubrisanya dan terus menempuh perjalanan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumah tante.

Di sekolah baru, aku mulai berkenalan dengan teman-teman. Ada yang ramah pun ada yang judes. Namun, aku kembali pada dirinya sendiri yang suka menyendiri, meski tak sedikit teman yang ingin menggandeng masuk ke geng mereka.

Ketika itu, aku mengikuti mata pelajaran pertama, matematika. Mustafa Kamran nama guru pengampunya. Akrab disapa pak Mus. Ia cukup cerdas. Pandai mengola suasana beku menjadi cair. Tak hanya matematika yang dijelaskan, novel-novel yang sudah ia rampungkan pun dipresentasikan dalam kelas. Itu kesan baik yang aku dapatkan di hari pertama sekolah. Sungguh menyenangkan. Dari beberapa pengajar di kelasku, kata teman-temanku hanya dialah yang tak pernah berikan hukuman fisik terhadap siswa seperti guru lain. Dan aku rasa, untuk mendidik seseorang tak perlu dengan kekerasan seperti Pak Mus.

Seusai apel pulang sekolah, aku lebih suka berjalan kaki, melewati jalan pantai menuju rumah. Dan, ketika menoleh ke arah dermaga, lelaki muda itu masih duduk memeluk lulut di tengah hiruk-piku susana dermaga yang sesak. Kala itu, bertepatan dengan waktu tiba kapal yang membongkar Muatan. Aku hanya mengamati dari kejauhan dan terus melanjutkan perjalanan ke rumah.

Di desa, lambat laun, aku mulai nyaman dan menekuni beberapa rutinitas. Selain belajar menulis puisi dan cerpen, aku kerap menjelajah ke beberapa tempat wisata di pulau itu. aku juga mulai berani melirik teman kelasnya. Kendati begitu, tetap saja menyembunyikan rasa kagum dan berusaha hanya aku dan tuhan yang tahu. Namun, keringat dingin serta wajah pucat pasi kerap tak berhenti bercucur ketika sosok pujaan hati datang ke hadapanku. Degup jantungnya berdentang bak pukulan tifa dalam tarian cakalele. Semakin kencang, dan menderu, peluh membanjiri tubuhku.

***

AKU TAHU semua orang pasti heran melihatku nyaris setiap hari duduk di dermaga. Mereka tak tahu bahwa cinta bisa membuat orang gila. Misalnya, Qais yang gila karena Layla. Atau Zainab yang melarat karena rindu kepada Hamid.

Dan mungkin orang-orang tak merasakan kegetiran semacam itu. Tak mengapa. Biarlah mereka menilaiku. Toh, hidup di tengah masyarakat setiap orang berhak menilai dan dinilai, bukan? Dan ketika meraka merasakan apa yang aku alami ini, kelak sadar ternyata kekuatan cinta sedahsyat itu. Bisa bikin orang waras jadi gila. Dan bisa membuat orang gila jadi waras.

Baca halaman selanjutnya...

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...