Dirgahayu Tidore

Oleh: Rusly Saraha
Diatas kapal Gracelia dalam perjalanan dari Taliabu menuju Luwuk, saya sejenak memilih menyepi. Di kabin lantai tiga kapal, beberapa kawan bergerombol duduk melepas cerita, sambil menikmati cemilan ringan pagi.
Saya melihat satu kaleng biskuit khong guan yang melegenda, tetapi penampakannya seolah biasa saja, tak benar-benar menggoda. Entah kenapa, kurma Timur Tengah dan Jambu Mete khas Taliabu yang renyah, digoreng dengan kolaborasi rasa gurih memukau yang sedari awal telah siaga di samping tempat saya duduk telah memaksa saya untuk stay di tempat.
Laut biru dengan gelombang tipis memberi ketenangan. Angin sepoi sungguh menaburi kesejukan. Di hadapan kami, bayang-bayang Pulau Luwuk, lokasi yang menjadi tujuan pelayaran ini telah terlihat.
Tetiba memori saya berkelana ke masa silam, saat armada Prins Rebel datang membawa kabar tentang hari-hari depan yang tak lagi suram dan kelam.
12 April 1797, kita mengenalnya sebagai Revolusi Tidore bermartabat. Pangeran Nuku, sekaligus lelaki yang didaulat sebagai Raja Seram dan Papua datang dengan armada perang ke Tidore. Nuku pulang kampung, tapi tak berperang. Ia datang untuk menyelamatkan negerinya yang terseok-seok, tak kokoh berdikari karena terlanjur menjadi boneka kompeni.
Semenjak penyerangan Toloa pada Juli 1780 oleh armada VOC Belanda yang menghasut Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore yang dipimpin Sultan pilihan Belanda Gaijira dan lalu Patra Alam, Nuku memilih jalan hijrah.
Meninggalkan kampung halaman tercinta tentu adalah sebuah pilihan berat. Tetapi penyerangan yang memporak-poranda Toloa itu telah melukai harkat. Api yang membakar rumah dan kebencian yang membumbung tinggi bersama keserakahan dan ketamakan Belanda telah membara.
Nuku dan pasukannya tak punya pilihan untuk membuat perlawanan. Entahlah, bisa jadi armada tempur VOC kala itu datang dengan operasi mendadak, mereka menggasak ke segala arah dan tak ingin memberi tempat bagi para pemberontak.
Baca halaman selanjutnya..
Komentar