Tanah Rakyat atau Tanah Negara
Oleh: Masri Anwar
(Pegiat Lingkungan Hidup)
Membicarakan kehidupan petani, kita tak dapat lepas dari membicarakan kehidupan masyarakat petani yang telah berabad-abad dicengkram oleh sistem feodalisme (kerajaan). Feodalisme yang dimaksud adalah suatu cara berekonomi atau suatu ekonomi di mana raja, keluarganya dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani sebagai abdi.
Jadi, dalam cara berekonomi feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan para bangsawan. Bahkan, rakyat juga menjadi milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa.
Alat produksi tanah, rakyat menggarapnya hanya mempunyai hak menggunakan, tidak berhak memiliki atau menguasai. Tanah adalah kepunyaan para raja dan bangsawan. Demikian pula, tenaga rakyat wajib diberikan bila raja menghendaki untuk keperluan membersihkan keraton, mencari rumput untuk kuda-kuda raja, melakukan penjagaan, mengangkut barang-barang dan sebagainya.
Dari tanah garapannya, petani wajib atau diharuskan menyerahkan separuh hasil buminya kepada raja sebagai upeti berupa buah-buahan, padi, barang-bahan mentah atau yang sudah jadi, dan bahan-bahan kayu gelondongan. Dan bila seorang raja takluk pada raja yang lainnya, maka raja itu harus mengirim upeti kepada raja pemenangnya dan ini dibebankan kepada petani sebagai suatu kewajiban.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, di samping itu rakyat atau petani harus bekerja untuk raja atau para penguasa daerah seperti bupati sebagai tanda baktinya kepada raja. Bagi petani, hal itu jelas menambah beban yang semakin memberatkan, apalagi ketika kaum kolonial (penjajah) memanfaatkan sistem feodalisme ini untuk memungut surplus hasil bumi petani.
Beban ini, pertma, harus menyerahkan sebagian hasil produksinya dan, kedua, harus bekerja secara cuma-cuma kepada raja atau bangsawan, jelas membuat petani menjadi miskin karena sisa hasil produksi yang mereka pakai sendiri adalah hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya secara (subsistensi). Tidak ada sisa surplus hasil produksi yang bisa dipakai untuk kepentingan kemakmuran dirinya. Semua surplus itu telah diserahkan pada para raja atau bangsawan.
Jelas, sistem feodal hanya memakmurkan dan bangsawan, sementara para petani diperas tenaganya dan sengsara. Sebab, dalam sistem feodal, aliran hasil bumi banyak ke atas (ke pihak raja), sedangkan aliran ke bawah (ke petani) sedikit sekali. Dengan mudah dapat ditemukan dalam masyarakat feodal adanya selubung budaya yang menganggap bakti pada raja sebagai bakti terhadap Tuhan. Pemerasan tenaga petani merupakan kewajiban suci kepada wakil Tuhan di dunia, yaitu raja.
Tidak hanya itu, para pegawai raja juga sering memanfaatkannya dengan kedok “untuk raja” dalam memeras dan menindas petani. Tidak jarang para bangsawan raja ini berbuat sewenang-wenang kepada petani dengan membebankan pungutan hasil produksi petani sebesar-besarnya sehingga petani lebih menderita lagi. Jadi, para petani disini mengalami pemerasan ganda.
Yang disebut kolonialisme atau penjajah adalah anak dari kapitalisme. Oleh karena itu, sebelum kita membicarakan kehidupan petani di masa kolonialisme, penting untuk membicarakan kapitalisme dahulu. Kapitalisme, juga sama seperti feodalisme, pada mulanya adalah suatu cara berekonomi.
Tapi, berbeda dengan feodalisme di mana alat produksi dikuasai oleh raja, dan dalam kapitalisme alat produksi dikuasai oleh kapitalis atau pemilik modal (kapitalis). Ia di sini tidak harus bekerja mengabdi atau berbakti pada raja secara cuma-cuma. Ia bekerja pada pemilik modal sebagai buruh dengan upah uang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar