(Refleksi Jelang Tuan Rumah Rakernas JKPI 2026)
Kebudayaan untuk Kemanusiaan

Pada konteks ini urusan kebudayaan dipandang selesai setelah diperkenalkan melalui kurikulum pendidikan yang formalistik dan instrumentalistik dimana pendidikan dan pengajaran dianggap akan sempurna.
Dengan dukungan penuh mata pelaajaran di ruang kelas, ketersediaan tenaga edukasi, alat dan peragaan yang lebih menempatkan manusia sebagai objek bukan selaku subjek yang berperan penting dan penentu dalam agenda-agenda pemajuan kebudayaan itu sendiri.
Kita dapat perhatikan di lembaga pendidikan yang menerapkan pembelajaran bermuatan budaya daerah seperti bahasa, seni dan sastera dimana para siswa diajarkan bahasa daerahnya tanpa dukungan komitmen dan kesungguhan lingkungan diluar kelas atau masyarakat terutama keluarga dalam percakapan keseharian.
Tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel namun dipastikan bahwa konsistensi dan komitmen untuk menggunakan bahasa daerah merupakan hal yang mutlak diperlukan. Selebihnya diperlukan komitmen dan konsistensi regulasi kebijakan yang berpihak.
Jika atmosfer tersebut tetap berlangsung dan terpelihara maka dipastikan kebudayaan hanya sebatas hidup di ruang kognitif manusianya dan memiliki kecenderungan dehumanisasi yang membahayakan pemertahanan budaya bangsa itu sendiri.
Fenomena ini akan menjauhkan kita dari pembangunan kebudayaan sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dimana dimensi manusia adalah kuncinya, (baca Soedjatmoko, 1990).
Pentingnya dimensi manusia kembali diingatkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat memberi sambutan pada pembukaan kegiatan Rakernas JKPI di Yogyakarta pada 6 Agustus 2025 lalu.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar