(Refleksi Jelang Tuan Rumah Rakernas JKPI 2026)

Kebudayaan untuk Kemanusiaan

Rinto Taib

Oleh: Rinto Taib
(Penggagas Museum Kota Pusaka Indonesia)

Kita seringkali terjebak pada event kebudayaan yang jauh dari spirit solidaritas sosial, seringkali pula tunduk pada formalisme kerja-kerja kebudayaan. Kebudayaan diperlakukan sebatas bagian dari profesi dan legalitas identitas formal (labeling) dan sekedar rutinitas pekerjaan.

Hal ini diperkuat dengan cara pandang kita tentang kebudayaan sebatas warisan masa lalu yang menjebak dan mengkategorikan manusia pada dua pengelompokan yaitu pengagum romantisme masa lalu serta tradisinya sehingga terkadang pula menjadi terpapar olehnya.

Di Segi yang lain, seringkali menuduh kelompok tertentu sebagai  pengusung modernitas yang anti akan tradisi, (baca C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (1076).

Di Sisi yang lain, adanya orientasi kebudayaan sebagai proyek sehingga mengikutinya dipandang sebagai sumber mendapatkan keuntungan atau mata pencaharian, pada konteks ini kebudayaan dipandang sebagai investasi yang menghasilkan akumulasi keuntungan berlipat.

Realitas ini menciptakan sebuah tatanan sosial yang ahistoris bahkan apatis dalam giat-giat kebudayaan jika diperhadapkan dengan peluang hidup yang lebih memberikan jaminan secara kalkulatif ekonomis.

Realitas sosial tersebut dapat terbaca melalui ketiga bentuk analisis, pertama adalah berkaitan dengan situasi dan problematika yang menyertai; kedua, berkaitan dengan orientasi atau tujuan yang ingin dicapai; ketiga, berkaitan dengan cara dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam realitas dunia pendidikan kita misalnya, kebudayaan ditanamkan pada basis kognitif yang jauh dari spirit humanisme dimana interaksi dan solidaritas menjadi unsur utamanya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...