(Sebuah Refleksi Kritis atas Perlawanan Masyarakat Adat Maba Sangadji)
Jeruji Besi, Keadilan dan Warisan

Oleh: Yadin Panzer
(Komite Pimpinan Pusat SAMURAI Maluku Utara)
Viralnya surat dari masyarakat Maba Sangadji, yang berada di balik jeruji besi telah membuka perspektif kita tentang dinamika resistensi masyarakat adat, dalam mempertahankan hak-hak kolektif mereka atas tanah adat, yang didalamnya terkandung narasi tentang keberanian dan keteguhan hati para tahanan politik.
Seperti Bobato Salasa Muhammad, dalam menghadapi tekanan dan represi dari aparat penegak hukum. Yang menunjukan bahwa perjuangan mereka tidak hanya berorientasi pada pelestarian tanah adat, tetapi juga pada perlindungan terhadap masa depan generasi mendatang.
“Demi perjuangan mempertahankan tong pe hutan deng tanah adat, saya rela kase tinggal saya pe ana bini. Kitorang taratau tong pe salah apa, langsung dapa tangkap dan dapa pukul dari polisi, tentara dan brimob. Deng samua dong pe tindakan pe torang demi Allah saya tara ridha dunia akhirat.
Kalau tong tara jaga deng pertahankan torang pe hutan deng tanah adat tong pe ana cucu dong pe nasib kedepan bagimana? Jadi apapun yang terjadi, deng samua dape resiko sekalipun saya pe nyawa jadi taruhan.
Saya siap berjuang sampe titik darah penghabisan”. Sebuah catatan dibalik jeruji besi oleh Bobato Salasa Muhammad, 87 tahun, di rutan Ternate.
Pernyataan diatas menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan tanah adat dan anak cucu di masa depan, merupakan kritik tajam terhadap struktur kekuasaan, juga merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif yang mendalam tentang pentingnya melestarikan warisan budaya dan identitas masyarakat adat.
Dalam konteks ini, perjuangan tersebut tidak hanya berfokus pada kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi juga berorientasi pada kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang. Yaitu; menjaga kelestarian lingkungan dan warisan budaya untuk generasi mendatang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar