Kebangkitan Nasional: Antara Krisis Ekologi dan Perebutan Ruang

Oleh: Herman Oesman

(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

_"...Hari ini kita dituntut membangkitkan semangat baru untuk menyelamatkan masa depan ekologis Indonesia..."_

Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai penanda bangkitnya kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan dan perjuangan melawan penjajahan. Namun, lebih dari seabad setelah kelahiran Boedi Oetomo pada 1908, bangsa ini dihadapkan pada bentuk "penjajahan" baru, yakni krisis ekologis yang ditimbulkan oleh kerakusan ekonomi dan dominasi industri ekstraktif. Dalam konteks inilah, kebangkitan nasional seharusnya dimaknai ulang: bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi menjadi momentum reflektif untuk melawan kolonialisme baru dalam bentuk perampasan ruang, kehancuran lingkungan, dan marginalisasi masyarakat adat serta lokal.

Indonesia hari ini menghadapi tantangan serius di bidang ekologi. Laporan WALHI (2023) mencatat bahwa deforestasi, krisis air bersih, pencemaran tanah dan udara meningkat seiring ekspansi tambang, perkebunan skala besar, dan proyek infrastruktur strategis. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 59% konflik agraria di tahun 2022 terjadi di wilayah konsesi industri ekstraktif, terutama pertambangan dan perkebunan sawit (WALHI, 2023 : 17). Ini menunjukkan bahwa ruang hidup masyarakat, terutama di wilayah pinggiran dan kepulauan, telah menjadi arena pertarungan antara kepentingan ekonomi dan hak-hak dasar warga negara.

Kawasan Pulau Halmahera di Maluku Utara, misalnya, untuk disebutkan sebagai contoh tentang ini, dulunya dikenal sebagai pusat perdagangan rempah dunia, kini berubah menjadi surganya tambang nikel. Kehadiran industri ekstraktif seperti tambang dan smelter tidak hanya mengubah lanskap ekologis, tapi juga struktur sosial budaya masyarakat. Alih-alih menjadi "motor pembangunan", industri ini justru menyisakan ketimpangan, kerusakan ekosistem, dan konflik sosial. Studi oleh Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li, dalam karya mereka tentang perebutan ruang dan agrarian change, menunjukkan bahwa dalam konteks seperti ini, negara kerap memihak modal dan mengabaikan prinsip keadilan sosial (Hall, Hirsch, Li, 2011 : 44).

Ironisnya, pemerintah justru mengadopsi narasi "nasionalisme sumber daya" untuk membenarkan ekspansi industri. Dalam pidato-pidato resmi, eksploitasi nikel dan sumber daya alam lain dibingkai sebagai bagian dari upaya "membawa kemakmuran rakyat" dan "memperkuat kemandirian ekonomi nasional". Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa yang menikmati hasil utama dari ekstraksi sumber daya adalah perusahaan besar dan investor asing, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Kebangkitan nasional di tengah konteks seperti ini tidak bisa dimaknai sekadar romantisme sejarah. Ia harus menjadi dorongan untuk membangkitkan kembali kesadaran ekologis dan keberpihakan pada keadilan ruang. Seperti ditulis oleh Anna Louwenhaupt Tsing dalam *Friction: An Ethnography of Global Connection*, menyatakan, kapitalisme global selalu beroperasi melalui friksi lokal, di mana nilai-nilai budaya, relasi kuasa, dan ekologi saling bertumbukan, saling berhadap-hadapan (Tsing, 2005 : 29). Dalam artian ini, perjuangan rakyat untuk mempertahankan hutan adat, wilayah kelola rakyat, dan ruang hidup bukanlah sekadar konflik lokal, tetapi bentuk kontemporer dari perjuangan nasional.

Kita juga harus mengakui bahwa nasionalisme yang tidak ramah lingkungan adalah nasionalisme yang cacat. Nasionalisme sejati bukan hanya soal membangun infrastruktur atau memperkuat pertahanan, tetapi juga merawat tanah air dalam arti yang paling harfiah, yakni menjaga tanah dan air dari kehancuran.

Bung Karno dalam karyanya, *Di Bawah Bendera Revolusi* pernah berkata bahwa revolusi Indonesia bukan hanya menggulingkan kolonialisme, tetapi juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera (Soekarno, 1963 : 112).

Dalam konteks hari ini, revolusi itu harus diwujudkan dalam bentuk pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan.

Kaum muda, akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil harus mengambil peran penting dalam kebangkitan nasional gaya baru ini. Diperlukan penguatan gerakan lingkungan berbasis komunitas, mengadvokasi kebijakan perlindungan ruang hidup, dan menolak logika pembangunan yang hanya mengukur kemajuan dari angka investasi. Kebangkitan bukan hanya dari keterjajahan politik, tapi dari ketergantungan ekonomi dan mentalitas eksploitatif terhadap alam.

Sebagaimana Boedi Oetomo dulu membangkitkan semangat kolektif untuk masa depan bangsa, hari ini kita dituntut membangkitkan semangat baru untuk menyelamatkan masa depan ekologis Indonesia.

Negeri ini perlu membangun nasionalisme yang ekologis, yang tidak hanya mencintai tanah air sebagai identitas, tapi juga sebagai ekosistem yang harus dijaga bersama.

Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi titik balik dari nasionalisme simbolik ke nasionalisme substantif—yang berpihak pada keberlanjutan, keadilan ruang, dan kedaulatan rakyat atas tanah dan sumber dayanya.[]

Komentar

Loading...