Republik yang Disandera

Oleh: Martin Dennise Silaban
(Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM)
Dalam lanskap sosial-politik Indonesia hari ini, keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) tak lagi sekadar fenomena pinggiran, ia telah menjelma menjadi kekuatan yang masif, berlapis, dan dalam banyak kasus, mengkhawatirkan.
Dalam hitungan bulan terakhir, berbagai aksi kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hukum yang melibatkan ormas kembali mengisi tajuk berita, penyegelan perusahaan di Kalimantan Tengah, bentrokan antar ormas, pembakaran mobil polisi di Depok, hingga dugaan intervensi terhadap pembangunan pabrik mobil listrik di Subang.
Data Kementerian Dalam Negeri per 5 Maret 2024 mencatat terdapat 554.692 ormas terdaftar di Indonesia angka yang mencengangkan. Dari jumlah tersebut, hanya 1.530 yang memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dan 553.162 berbadan hukum.
Belum termasuk yang liar dan tak tercatat dalam sistem administratif negara. Jumlahnya yang nyaris setara dengan satu ormas untuk setiap 500 penduduk menunjukkan bahwa ormas telah menjadi wajah sehari-hari dari relasi kuasa di masyarakat kita.
Namun, kehadiran yang masif tidak serta merta menjamin kontribusi yang konstruktif. Justru, di tengah absennya kontrol negara dan kaburnya batas antara kekuasaan formal dan informal, sebagian ormas tumbuh menjadi alat tekanan, bukan partisipasi, menjadi ancaman dan bukan mitra demokrasi.
Negara, Ormas dan Premanisme
Dalam bukunya yang provokatif, The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia (2015), Ian Douglas Wilson menelusuri fenomena ormas dan premanisme sebagai bagian dari dinamika kekuasaan negara pasca-Orde Baru.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar