Di Balik Gelar “Doktor dan Profesor”

Oleh: Asmar Hi Daud
(Akademisi)
Gelar doktor dan profesor adalah puncak akademik yang sering dipandang sebagai lambang kecerdasan dan otoritas intelektual. Ia menjadi simbol keberhasilan akademik, pencapaian yang diraih melalui kerja keras, ketekunan riset, dan dedikasi panjang.
Namun di balik kebesaran gelar yang prestisius itu, tersimpan beban besar yang sering luput dari kesadaran kolektif kita, yakni: tanggung jawab keilmuan dan etika personal. Ujian antara kematangan akademik dan kemapanan emosional.
Kita hidup di sebuah zaman di mana banyak anak muda menempuh pendidikan tinggi dengan kecepatan luar biasa. Mereka menyelesaikan studi doktoral di usia yang relatif muda, memegang gelar akademik tinggi dengan penuh kebanggaan.
Fenomena ini tentu menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan ketika kecepatan akademik tidak berjalan seiring dengan kedewasaan jiwa. Kecakapan berpikir tidak otomatis berarti kematangan bersikap.
Kebijaksanaan.
Dalam ruang-ruang kampus, kita menyaksikan betapa banyak doktor dan profesor yang mumpuni dalam teori, namun sering kali kesulitan mengelola konflik, menahan ego, atau menampilkan empati.
Sebagian mudah tersulut ketika perbedaan pandangan muncul, tersandung dalam pertarungan kecil tentang jabatan, atau merasa terusik bila tidak diberi penghormatan sebagaimana yang mereka bayangkan layak diterima.
Padahal, gelar tidak seharusnya menjadi perisai ego, melainkan jendela untuk meneropong dunia dengan lebih bijak. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah munculnya fenomena kematangan akademik yang tak diimbangi dengan kematangan emosi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar