Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Oleh: Agus Hi Jamal
(Akademisi UMMU Malut)
Kartini tidak pernah membayangkan bahwa lebih dari seabad setelah surat-suratnya ditulis, suara perempuan masih saja harus bertarung keras untuk didengar.
Ia mungkin tidak mengenal istilah “ekstraktivisme” atau “korporasi tambang,” tetapi Kartini sangat paham bagaimana sistem patriarki bekerja: membungkam, mengatur, dan membatasi ruang hidup perempuan.
Kini, di tanah-tanah kaya nikel seperti Halmahera Tengah dan Pulau Obi, perempuan menghadapi tantangan ganda ketika kekuasaan tidak hanya berbentuk adat dan negara, tetapi juga menjelma dalam bentuk pabrik, alat berat, dan laporan amdal yang tak menyebut nama mereka.
Perempuan di Maluku Utara, khususnya di kawasan lingkar tambang, hidup dalam pusaran industrialisasi yang tidak pernah mengundang mereka ke meja keputusan.
Sejak deru pertama alat berat menghantam hutan, sejak truk-truk tambang mulai merambah jalan desa, dan sejak air menjadi asin serta sungai berwarna merah karat, tubuh perempuan-lah yang paling pertama merasakan dampaknya.
Mereka kehilangan akses terhadap air bersih, kehilangan tanah garapan, kehilangan ruang aman, dan yang paling menyakitkan, kehilangan suara.
Dulu, di desa-desa pesisir dan pedalaman Halmahera, perempuan adalah pengelola kehidupan. Mereka mengatur pola tanam, menyimpan hasil kebun, mengajarkan bahasa ibu, dan memastikan dapur tetap mengepul walau panen tak menentu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar