Menggugat Narasi Kemajuan, Merayakan Pulau

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
"Pulau sebagai ruang hidup, bukan ruang komoditas, di sana, rumah bagi kehidupan yang kaya makna."
Narasi kemajuan (development) telah lama menjadi mantra dominan dalam wacana pembangunan nasional.
Di Indonesia, kawasan pulau-pulau kecil dan terluar acapkali dijadikan tapak “kemajuan” melalui proyek-proyek infrastruktur, eksploitasi sumber daya alam, serta perluasan jaringan ekonomi nasional dan global.
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kemajuan”? Dan di balik narasi kemajuan, siapa yang diuntungkan serta dirugikan dalam proses tersebut?
Narasi kemajuan kerap diproduksi dari pusat kekuasaan negara dan korporasi, mengabaikan suara dan cara hidup masyarakat pulau.
Dalam Encountering Development, Arturo Escobar mengkritik proyek pembangunan sebagai kelanjutan dari logika kolonial. Ia menyebut, bahwa narasi pembangunan menciptakan dikotomi antara “masyarakat maju” dan “masyarakat tertinggal”, di mana yang terakhir dianggap membutuhkan intervensi eksternal. Lebih lanjut ditegaskan Escobar, kemajuan dalam bentuk tambang, perkebunan, atau pariwisata massal tidak selalu berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal—acapkali justru membawa konflik, kerusakan ekologi, dan peminggiran kultural (Escobar, 1995: 8–9).
Pulau-pulau di Indonesia Timur, khususnya Maluku Utara (seperti Pulau Halmahera) diposisikan sebagai ruang-ruang “belum berkembang” yang harus “dibenahi” dengan teknologi, modal, dan proyek nasional.
Jadilah kemudian "kuku tajam" Proyek Strategi Nasional (PSN) menancap dengan nyaman di sana, di pulau-pulau kaya tambang.
Narasi ini menemukan momentumnya dalam era neoliberal sejak 1980-an, ketika negara semakin membuka ruang bagi investasi ekstraktif, terutama tambang dan perkebunan skala besar (Bebbington et al., 2008: 889).
Tak terbendung, Maluku Utara lalu bertumbuh dan marak dengan proyek tambang nikel. Mulai dari Pulau Obi Halmahera Selatan, hingga Lelilef di Halmahera Tengah, dan kini mulai menjalar ke perut Halmahera yang lain. Kehadiran proyek atas nama pembangunan dan "kemajuan" itu telah mengubah lanskap pulau menjadi zona-zona industri, yang secara tragis merusak hutan, laut, dan ruang hidup komunitas adat dan nelayan.
Memahami pulau tidak semata sebagai unit geografis, tetapi sebagai ruang hidup (lifeworld) adalah kunci untuk merayakan keberadaannya.
Masyarakat pulau memiliki relasi ekologis, kosmologis, dan historis yang khas terhadap darat dan laut. Dalam studi tentang masyarakat pesisir, Lowe (2006: 98) lebih menekankan pentingnya melihat pulau sebagai ruang sosial yang dibentuk oleh interaksi manusia dan alam secara dinamis.
Merayakan pulau berarti mengakui keberagaman bentuk kehidupan, sistem pengetahuan lokal, dan praktik keberlanjutan yang selama ini tak terakomodasi dalam logika pembangunan nasional.
Praktik menjaga laut yang berlaku di Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, dapat disebut sebagai contoh, merupakan bentuk lokal pengelolaan sumber daya alam yang berbasis nilai, bukan berbasis pasar.
Praktik menjaga laut di Maluku Utara telah lama terdistorsi dan jarang ditemukan lagi dalam kehidupan masyarakat.
Menggugat narasi kemajuan bukan berarti menolak perubahan, melainkan menuntut keadilan dalam arah perubahan tersebut.
Perlu adanya politik pembangunan alternatif yang menghargai hak atas ruang hidup, mengakui otonomi masyarakat pulau, dan mendasarkan diri pada prinsip keadilan ekologis.
Sejumlah gerakan masyarakat adat dan nelayan di Indonesia telah memulai jalan ini, seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan WALHI yang telah mendorong kebijakan pembangunan berbasis komunitas dan hak atas tanah serta laut (WALHI, 2021).
Pulau bukanlah ruang kosong yang menunggu untuk dikembangkan, tetapi pulau adalah rumah bagi kehidupan yang kaya makna.
Merayakan pulau berarti menolak narasi tunggal kemajuan dan membuka ruang bagi pluralitas cara hidup.
Di tengah krisis iklim dan ketimpangan global, mendengarkan suara pulau adalah langkah penting untuk membayangkan masa depan yang adil dan berkelanjutan. []
Komentar