Mata yang Tertutup di Lelilef

Oleh: Iksan Abd. Gani
(Alumni Fisipol-UMMU)

Tantangan kehidupan memaksa manusia untuk merespon segala yang tiba. Segala yang ada; Ekonomi, budaya, politik dan lingkungan menjadi kebutuhan penting untuk dijaga. Sebab, dari sana keberlangsungan dan keseimbangan kehidupan akan terus berjalan.

Sebuah desa yang terus bertahan dengan daya kekuatan, untuk tetap menyaring segala yang datang dan terjadi, kini terlihat pincang dan kusut. Tulisan ini hanya menyoal tentang debu, dust atau abu, yang menyebar di Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Debu ialah serbuk halus yang berasal dari tanah, yang terus terbang tajam di awan Lelilef. Menyasar semua tempat. Pada kening bayi, debu bertengger. Pada mata bayi, debu bercerita: ada kelembutan, kepasrahan.

Pada makanan anak-anak, debu menempel. Bahkan pada air yang kita minum di Lelilef hari ini, debu-debu itu sedang bermain dadu. Debu kini, ada di mana-mana. Debu kini, ada, di setiap tarikan nafas manusia di sini!

Di Lelilef, jika sore menjelang, di jalan raya sesak akan lalu lalang kendaraan. Mobil dan motor saling seirama, berjejer rapi, kadang juga macet, kadang seperti gemuruh puting beliung; laju kendaraan berburu waktu amat menekan, seraya diikuti debu yang sangat tebal.

Di Lelilef, jika pagi datang, kebisingan menguap, merasuki hingga di depan jendela kamar. Debu, siap-siap mengepa sayapnya, terbang menyinggahi bantal, piring dan lantai di rumah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...