Politik Dinasti di Indonesia, Api yang Membakar Demokrasi
Oleh: M. Nur Latucosina
(Wasekjend Bidang Kumhankam PB HMI)
Di Indonesia, politik dinasti bagaikan api yang menjalar pelan, tetapi membakar fondasi hutan demokrasi yang subur. Demokrasi tampak kuat di permukaan dengan berbagai pemilihan umum setiap lima tahun atau lebih, tetapi akar sistemnya masih digerogoti oleh api kepentingan pribadi dan keluarga.
Politik dinasti adalah ketika kekuasaan dipegang dan diwariskan seperti mahkota kerajaan tetapi sekarang dalam bentuk modern melalui kotak suara dan peraturan yang tampaknya demokratis.
Kita telah melihat “kerajaan-kerajaan kecil” muncul di berbagai daerah di Indonesia di mana kekuasaan berpindah dari ayah ke anak, suami ke istri, dari satu keluarga ke keluarga lain tanpa memberi ruang bagi darah baru dalam badan-badan politik lokal.
Salah satu contoh nyata adalah Banten yang pernah diperintah oleh keluarga Ratu Atut Chosiyah. Di provinsi ini, politik tidak lagi menjadi panggung perebutan ide, tetapi telah menjadi arena untuk mempertahankan tahta keluarga.
Ratu Atut dan kerabatnya tidak hanya membangun kekuatan politik yang luas di provinsi tersebut, tetapi juga di berbagai kabupaten dan kota, menciptakan jaringan yang didasarkan pada kepentingan pribadi dan keluarga.
Contohnya dapat dilihat di Sulawesi Selatan, di mana klan Yasin Limpo telah lama mewarnai politik lokal. Dari ayah ke anak, kekuasaan berpindah secara ‘demokratis’, tetapi di dalamnya tersembunyi keinginan untuk terus memelihara dan memperluas pengaruh keluarga.
Fenomena ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan: Apakah masyarakat benar-benar punya pilihan atau mereka hanya memilih anggota keluarga yang berbeda dengan tujuan yang sama, yaitu melanggengkan kekuasaan? Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan menuju perubahan dan perbaikan justru terjebak dalam lingkaran setannya sendiri, seperti labirin yang tak berujung.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar