79 Tahun Senja Kala Kemerdekaan Dalam Moncong Oligarki
Oleh: Faizal Ikbal
(Koordinator Lembaga Survei Indonesia Political Opinion (IPO) Maluku Utara)
Semarak kemerdekaan di depan mata. Mural dan Grafiti menghiasi dinding tembok dengan bertuliskan "sekali merdeka tetap merdeka". di gang-gang lorong Kelurahan dan Desa sudah bergantungan botol kosong yang dicat warna merah-putih melintang dengan zig-zag di atas kepala.
Pemasangan umbul-umbul bendera, dan kokohnya tiang bendera sangsaka merah-putih di depan rumah warga membuat beranda pikiran kita pasti di bawah pada masa-masa Bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan.
Agustus, barangkali menjadi bulan romantisme, di mana Bangsa ini selalu segar ingatannya dengan sejarah berdarah-darah untuk memastikan masyarakat Indonesia keluar dari kemelut panjang penjajahan Kolonial.
Kurang lebih, satu setengah abad Indonesia di bawah kaki koloni, ditindas dan dirampas sendi-sendi kehidupannya. Lalu, tepat di 17 agustus 1945, Indonesia keluar dari sesak napas asap bom Kolonial, menuju nafas panjang kemerdekaan yang tandai dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan Hatta.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dituntut untuk tetap bergerak mengakomodasi kepentingan rakyat diatas segalanya adalah tujuan dari merdeka. Dering untuk mengingatkan Negara bahwa masyarakat harus menjadi dasar dari setiap kebijakan, maka founding father merumuskan nilai-nilai pancasila sebagai aras praktis untuk membangun Indonesia.
Bung Hatta menyampaikan, " Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagian dan kemakmuran rakyat!"
Pandangan universal yang tidak mendominankan kelompok apa pun harus dioperasikan, sehingga refleksi kemerdekaan di situasi krusial saat ini, benar-benar menempatkan urgensi kepentingan rakyat sebagai ruang komunikasi kesadaran bangsa yang majemuk ini untuk bisa berkomitmen mewujudkan lagi sinar harapan yang tercantum dalam sila terakhir "keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia."
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar