Kapal Tidak Membawa Dia Pulang

Perkara cinta yang pelik seperti itulah, yang bikin aku tak mengurus diri saat ini. Kadang aku merasa hilang ingat dan barangkali itu yang disebut gila.
Dan, mungkin aku bakal benar-benar sembuh ketika Bulan kembali menjengukku di pulau ini. Lalu, aku bakal bertekuk lutut meminta maaf padanya.
Rutinitasku hanya duduk menunggu di dermaga. Hobi membaca buku dan menjadi kontributor tulisan di koran tak lagi aku lakoni. Biarlah. Kurasa semua percuma. Aku menulis hanya ingin diperhatikan orang lain, dan Bulan. Tapi, itu tak pernah terjadi. Masing-masing orang sibuk dengan dirinya. Kalaupun mereka iba, itu pasti tak berpengaruh pada kepulihanku, kecuali Bulan yang jadi penawarnya.
Ibu sudah tak berani melarangku lagi. Sebab, aku pelototi dan berontak ketika mereka berusaha membawaku pulang dari dermaga. Mereka sebetulnya tahu, aku sedang menanti Bulan di sana. Tapi tak pernah mengungkit hal itu, takut menyakiti diriku. Ibu bilang, aku boleh duduk seharian di dermaga. Tapi jangan lupa bawa bekal, pun jangan sampai menceburkan diri ke laut. Cukup duduk diam.
Beberapa teman juga kerap datang menghampiriku. Mereka mengajakku ngobrol segala macam topik, untuk mengalihkan kesedihanku. Biasanya teman-temanku datang di hari Ahad. Aku memang terlibat dalam obrolan mereka, tapi ketika mereka pulang, aku merasa dibacok sepi, dan menyayat hati.
Di antara beberapa temanku Memetlah yang cukup dekat dan mengerti keadaanku. Saat malam tiba ketika aku berada di rumah, ia kerap datang menjenguk. Aku lalu meminta padanya untuk menemaniku ke pelabuhan sebentar saja. Mencari bekas- bekas terakhir sang kekasih yang tak kunjung pulang itu. Dihubungi pun tampak mustahil, sebab, Bulan sudah ganti kontak ponsel.
***
AHAD TIBA. Rencana aku bakal ke dermaga, ada urusan sebentar. Di kampung, dermaga utama hanya satu. Tempat si lelaki muda itu bersemayam. Usai pamit ke tante, aku berjalan ke dermaga. Di sana, seperti biasa ada lelaki muda itu. Namun, yang berbeda ia tampil parlente dengan setelan kemeja dan jelana jins beserta sepatu. Apa ia hendak menjemput seseorang? Tanyaku dalam hati. Aku tetap berjalan sembari meneka-nerka apa yang bakal dilakukan lelaki gila itu.
Ia membelakangiku dan menghadap ke arah kapal ketika aku menghampirinya. Ia menggenggam segulung korang lusuh. Aku penasaran diam-diam mengintip koran tersebut. Tampaknya terbitan tahun 2009.
Kenapa ia menggema korang butut itu? Lelaki aneh.
Aku lalu menuju ke arah tempat penitipan barang. Dan mengambil paket kiriman. Saat keluar dari kapal, aku melihat lelaki muda itu sudah berdiri. Dan tampaknya sedang menunggu sesuatu keluar dari perut kapal. Padahal sudah tak ada penumpang lain. Aku semakin penasaran apa yang membuat lelaki muda itu sehingga seharian menunggu di dermaga. Aku lalu bertanya ke salah satu ABK kapal, dan begitu tercengang ketika mendapat jawabnya.
"Saat itu medio 2009. Kekasihnya berangkat di kapal ini. Tapi, karena ada masalah pribadi lelaki muda itu, datang sesaat lalu pergi juga. Sejak kekasihnya berangkat ia mulai menampakan keanehan. Kadang waras. Kadang gila," kata ABK kapal.
Aku kembali tercenung. Betapa cinta mengubah segalanya. Lelaki muda yang parlente ini rupanya menunggu kekasihnya pulang. Dan setiap kapal yang tiba di dermaga ia berharap membawa kembali kekasihnya. Tapi tak kunjung datang. Aku justru penasaran siapa pula kekasih dari lelaki gila ini.
Aku lantas berpura-pura berdiri di sebelahnya. Ketika duduk, aku mulai percakapan receh meski tak digurbis. Aku meminta kepadanya untuk melihat segulung korang di tangannya. Ia semula tak mau. Tapi, ketika berapa kali aku bujuk, ia akhirnya menyodorkan koran itu. Halaman depannya dilipat, dan muncul rubrik sastra di sana. Di cerpen bagian pertama berjudul: "Kapal Bawalah Dia Pulang". Atas nama Jandri Patapata. Aku menduga nama tersebut milik lelaki gila di sampingku ini. Satu kalimat yang bikin aku tergugah dalam tulisan itu.
"Kapalmu telah pamit pada dermaga. menggunting ombak, menentang angin samudera. Betapapun badai menonjok, perahumu tak akan balik haluan. Padahal, aku ingin menjahit rindu yang compang-camping dan lusuh dengan tanganmu. Dengan jarimu. dan, ganasnya ombak akhirnya dilewati. perahu lalu menepi ke dermaga seberang dan kau tak pernah datang menjengukku lagi".
"Ini tulisanmu? Jandri Patapata namamu?"
Ia hanya mengangguk. Aku lalu membaca satu persatu susunan kalimat di dalam cerpen tersebut. Begitu puitisnya lelaki gila ini. Dan lihai dalam membangun sebuah cerita. Sebuah eksperimen yang tak pernah kubaca sebelumnya di cerpen manapun. Ada satu nama yang kerap ia disebut dalam cerita itu. Bulan Purnama Sari. Mungkin tokoh rekaan.
Seusai membaca sebentar, aku menyodorkan segulung koran lusuh kepadanya. Dan pura-pura pergi. Padahal, aku bersembunyi di ruang tunggu menyaksikan si lelaki muda itu selama beberapa jam. Ketika ia pulang, aku menguntit hingga ke rumahnya. Akhirnya aku tahu kediaman lelaki gila ini. Aku ingin sekali mengetahui ceritanya. Mungkin bisa kujadikan bahan untuk tulisanku nanti.
Esoknya ketika pulang sekolah, aku menyambangi rumah lelaki gila. Tentu dia tak ada di rumah dan sedang berada di dermaga. Aku hanya menemui ibunya, Ci Halma.
Dan mulailah aku mengulik cerita dibalik gangguan jiwa lelaki muda itu. "Jandri Patapata namanya. Itu anak sulungku. Dua tahun silam, ia berselisih dengan kekasihnya. Bulan Purnama Sari namanya," ungkap perempuan paru baya yang rambutnya kian memutih itu.
Aku tercengang ketika Bu Halma menyebut nama kekasih Jan. Sebab dalam cepernya juga terdapat mana yang sama: Bulan Purnama Sari. Jan benar-benar tak menyamarkan nama kekasihnya dalam karya.
Setelah mendengar kisahnya, aku mulai prihatin dan perhatian kepadanya. Sejak saat itu, ketika hendak ke sekolah, aku temui Jan di dermaga, dan memberikan sepotong roti. Cerpenis satu ini mesti dikasihani, menurutku. Meski aku tahu, ia pasti risih dengan rasa iba dariku.
Sayang, cerpenis ini begitu rapuh. Barangkali ketika kewarasannya pulih, kelak bisa berkarya kembali. Dan menginspirasi pembacanya. Semoga.
Sejak saat itu, aku mulai mengoleksi karya Jan. Mencari koran bekas edisi 2007 sampai 2009 di perpustakaan. Tahun-tahun produktif bagi Jan. Kelak bakal kupelajari tulisannya.
***
KABAR dari Memet meluluhlantahkan hingga membuatku tersungkur pingsan di dermaga. Dan saat siuman, tiba-tiba aku sudah berada di atas kasur kamar. Tampaknya, hari-hariku bakal semakin berat. Bak memikul Gunung Gamalama. Sial betul nasib semacam ini.
Tapi, bagaimanapun mesti diakui, bahwa semua ini bermula dari diriku sendiri. Aku tak ingin pulih lagi dari kegilaan ini. Membiarkan diri luntang-lantung menyusuri setiap tempat bobrok di desa. Tidur di pojok-pojok dermaga. Mengenakan pakaian lusuh dan compang-camping. Rasanya semut-semut di kepala semakin beringas mengusikku setiap waktu.
Bila begini, untuk apa waras. Isi kepala hanya soal penyesalan semata. Dan orang waras mana yang bakal lupa dengan kegetiran cinta semacam ini. Ah, aku ingin benar-benar gila. Dan tak pernah pulih. Mungkin ini tulisan terakhirku. Sebab, aku ingin sekali mencopot otakku. Menghempas segala ingatan.
***
KUDENGAR kabar, belakangan Jan tak pernah bertandang ke dermaga. Kegilaannya semakin menjadi-jadi. Sesekali ia menceburkan diri ke laut. Bahkan ia berguling-guling di atas tanah.
Orangtua dan keluarganya berinisiatif untuk mengurung Jan di rumah saja. Bila tidak begitu, maka bakal mengancam nyawa Jan dan orang lain.
Hanya sekali aku jenguk Jan di rumahnya. Mukanya merah padam melihatku. Aku tak tahu mengapa mata Jan menatap tajam seperti itu. Aku lalu mencoba mendekat. Jan berteriak mengancam dan memukul-mukul tembok kurungan. Karena itu, perlahan-lahan aku berjalan mundur dan raib.
Sejak saat itu aku tak pernah mengunjungi Jan. Tapi, aku giat membaca karangan Jan yang pernah diterbitkan waktu ia waras. Dari 50 cerpen yang ia tulis, setidaknya aku sudah merampungkan 5 cerpen. Mafhum, kesibukan membuatku tak punya waktu untuk membaca. Apalagi, kini aku bakal menghadapi ujian nasional (UN) di sekolah. Semua waktu kuhabiskan untuk belajar.
Syahdan, masa-masa SMA telah usai. Segala kenangan dan lelaki yang pernah aku lirik bakal menjadi kebanggan. Syukur-syukur aku bisa menghapus perasaan cintaku kepada lelaki yang pernah kulirik. Dan mungkin ketika aku curahkan semua perasaanku kepadanya, mungkin aku bakal gila seperti yang dialami Jan.
Tante Maiyah memintaku untuk mendaftar di salah satu universitas negeri di kota. Aku lalu berangkat meninggalkan kampung. Usai diterima sebagai mahasiswa di Prodi Sejarah, aku mulai menggeluti beberapa rutinitas. Di sela-sela waktu, perlahan-lahan kususun karangan fiksi; mempelajari model penulisan Jan. Akan tetapi, tak kunjung rampung pula.
***
DUA tahun kulalui masa sulit, rasanya kini kesedihan dan kegilaanku berangsur-angsur membaik. Ini berkat orangtuaku mondar-mandiri berobat supaya bisa sembuh. Aku tak lagi pelototi ibu. Kesembuhanku pasti bakal membuat orang heran. "Orang gila seperti Jandri, kok, bisa juga sembuh". Mungkin kalimat itu bakal penuhi telingaku.
Betul. Dahulu, cinta yang membuat gila. Tapi kini sudah terkubur. Rasanya, tak perlu lagi ada penyesalan. Sebab, Bulan sudah bersama yang lain. Ini merupakan lembar baru yang harus yang bakal kujalani dengan penuh optimis. Dan rasanya, setiap orang perlu bangkit dari patahan-patahan hidup. Apa pun itu. Perkara asmara. Sosial. Cinta, dan lainnya perlu juga kita beranjak ke arah lebih baik.
Dan aku akan mulai hidup laiknya orang normal. Juga mulai mengirim beberapa karyaku ke media online mumpung teknologi semakin canggih. Hanya sekadar berkarya, meski tak dapat honor. Tentu aku bakal menyebar optimisme dalam menghadapi keterpurukan. Entah bagaimana bentuk karyaku kelak, kuharap tak mengecewakan pembaca.
***
TIGA tahun belakangan ini aku tak tahu keadaan lelaki gila di dermaga. Mungkinkah ia tewas tenggelam ke laut? Semoga tidak. Aku harap ia baik-baik saja.
Sebetulnya aku ingin menyambangi rumahnya. Memberitahu Jan jika aku bertemu dan kenalan dengan Bulan kekasihnya, dalam beberapa kegiatan komunitas di kota.
"Bulan Purnama Sari." Katanya sembari menyodorkan jabatan tangan padaku. Seketika aku teringat tokoh dalam cerpen Jan. Mungkinkah sosok perempuan berambut lurus dan tinggi semampai serta punya kulit serupa sawo matang ini merupakan tokoh yang disebut-sebut Jan dalam tulisannya? Bila benar, maka aku maklum jika kegilaan Jan karena telah mengabaikan sosok perempuan cantik ini.
Bulan mengaku pernah tinggal di desa yang sama denganku. Dan dulu, ia punya kekasih di sana. Tapi kini, ia bahkan tak punya gairah untuk pulang ke desa menemui kekasihnya itu. Ia bilang kekecewaan telah memupuk keengganan pulang ke desa.
"Dalam hal apa pun. Kita mesti saling menghargai. Tak melihat dia perempuan atau laki-laki dan tua atau muda. Itu yang bikin saya menghilang darinya karena tak dihargai. Aku merasa tak pantas berada di lingkungan yang hanya bikin kita kerdil dan dipandang rendah."
Selain itu, alasan lain yang membuat Bulan tak kembali adalah karena ia sudah menikah dengan orang lain. Ia menunjukan padaku suaminya itu.
"Itu suamiku. Namanya Tifa." Ia menunjukan sosok suaminya yang tengah menggendong bocah perempuan imut. Aku menyimpulkan itu merupakan anak mereka.
Obrolanku dengan Bulan begitu alot. Banyak hal yang ia ceritakan padaku. Tapi, ia tak pernah lagi menyebut nama mantan kekasihnya di kampung. Sedagkan aku masih penarasan. Tapi, tak berani bertanya siapa kekasih sosok perempuan yang punya pipi bak sepotong roti ini.
Beberapa hari setelah perjumpaanku dengan Bulan, telah kudengar dari beberapa seniorku, yang juga berteman dengan Bulan, jika sosok lelaki muda di desa itu, tak lain adalah Jandri Patapata.
Setelah, pertemuanku dengan Bulan, kesibukanku semakin padat. Sebab, aku kini terlibat aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, hingga jadi anggota komunitas di kampus.
Namun, tak sengaja ketika berselancar di laman Facebook, aku melihat satu postingan cerpen dari akun bernama Konora. Yang bikin saya penasaran adalah judulnya. "Kapal Tak Usah Bawa Dia Pulang". Edisi 25 Mei 2014 di sebuah media online. Judul tulisan seperti suatu penolakan dari karya Jan. Aku lalu menekan situs web media online tersebut. Dan sontak kaget ketika melihat nama Jandri Patapata sebagai penulis cerpen. Kisahnya membuatku terharu. Seperti tulisannya di masa silam, enak dibaca dan sarat makna.
Lelaki gila itu sudah menulis? Kapan dia sembuh? Apa yang bikin ia sembuh?
Itu barangkali merupakan tulisan pertamanya, sekaligus tulisan terkahir yang bertema cinta, setelah ia sembuh. Aku tahu ini dari seorang teman di desa bahwa Jan menulis setelah benar-benar sembuh dari ketidakwarasannya.
Sedangkan aku baru saja merampungkan satu cerpen yang mengurai kisah Jan dan Bulan di masa silam. Dan telah kuserahkan naskahku ke salah satu media online dan terbit pada 27 Juli 2014, yang sekarang anda baca ini. Kuberi judul "Kapal Tidak Membawa Dia Pulang". Tulisanku ini menjadi bahan diskusi di internal komunitas. Banyak pula yang menggunjingku.
"Citrawala, telah kubaca kisah yang menarik di balik tulisanmu yang semrawut. Kau tampaknya, mesti banyak belajar lagi." Kritik Pawang Sarjana, kerabatku di komunitas, bikin mukaku merah padam. Sebab, bagaimanapun tulisan ini sudah kugarap dengan susah payah selama sekian tahun. Demikianlah kita bakal selalu mendapat kritikan dan penilaian dari orang lain. Tapi perlu juga aku terima kritikan tersebut untuk pengembangan diri. Dan baiklah. Aku bakal belajar lagi. (*)
Sasa, 27 Juli 2024.
Komentar