Matinya “Meritokrasi”

Oleh : Chrisvanus Th Lahu
(Ketua GMKI Kota Ternate)
Ada perenungan panjang dari setiap sistem di negeri kita. Ketika melihat mereka yang memiliki kemampuan, tak mampu bersaing dengan yang memiliki kedekatan emosional dengan yang pegang kuasa.
Kita seakan cemas melihat orang – orang yang punya kompetensi malah sulit mendapatkan pekerjaan karena tak punya keluarga pejabat atau HRD.
Baca Juga: Mencari Karakter Ideal Calon Pemimpin
Ini bukan tentang modal sosial atau siapa yang paling banyak memiliki relasi, tapi tentang kompetensi yang diabaikan, proses yang tidak mendapat penghargaan, serta kekuasaan yang tidak memberi ruang profesional untuk merekrut orang lain.
Jika anda berpikir bahwa sistem seperti ini sangat keliru, maka ada kesamaan dan kegelisahan yang dialami mayoritas orang saat ini. Praktik buruk yang terus dipelihara mengakar dan terbentuk stigma negatif akibat proses yang salah.
Padahal jauh sebelumnya di abad ke 4 SM, Plato telah memimpikan sebuah negara ideal yang diisi oleh kaum pemikir yang memerintah dengan kebijaksanaan agar tercapai nya sebuah keadilan. Kira kira demikian konsepnya yang di tuliskan dalam karya monumentalnya “Republik”.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 22 Juli 2025
Kondisi buruk ini juga telah lama di kritisi oleh Michael Young dalam gagasan besarnya berjudul "The Rise of the Meritocracy" (1958). Dalam pandangannya, konsep merit yaitu mengutamakan IQ dan effort untuk mencapai suatu posisi.
Karena konsep penalaran atau analisis serta usaha yang keras dari seseorang menjadi penting dalam pengambilan keputusan saat dalam dunia pekerjaan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar