Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang

Bachtiar S. Malawat

Oleh: Bachtiar S. Malawat
(Mahasiswa)

Kekayaan alam adalah berkah yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Maluku Utara.

Namun, di balik janji kemakmuran itu, sering kali terselip cerita kelam: penindasan, penggusuran, kriminalisasi warga adat, dan kebijakan yang menguntungkan perusahaan tambang besar tapi merugikan masyarakat lokal.

Fenomena ini bisa disebut “penjara untuk rakyat, karpet merah untuk tambang” di mana rakyat justru menjadi korban sistem, sementara tambang menikmati kemewahan dan perlindungan berlapis-lapis.

Menurut data Kementerian ESDM tahun 2023, Maluku Utara memiliki potensi sumber daya mineral yang sangat besar, mulai dari nikel, emas, hingga berbagai mineral lain yang sangat diburu oleh perusahaan tambang besar, salah satunya PT. STS.

Namun, sejauh mana kekayaan ini dinikmati oleh masyarakat lokal? Bukti di lapangan justru menunjukkan konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali terjadi.

Tak jarang, negara justru bertindak lebih sebagai pelindung korporasi daripada pelindung rakyatnya sendiri. Dalam beberapa kasus di Maluku Utara, warga adat yang menolak tambang malah berhadapan dengan aparat keamanan dan hukum.

Penangkapan warga adat atas tuduhan “mengganggu investasi” adalah fakta yang tidak bisa kita tutup-tutupi. Ini menimbulkan pertanyaan besar, untuk siapa sebenarnya kekuasaan itu bekerja.

Filsuf Prancis Michel Foucault pernah menyatakan, “Kekuasaan bukan hanya menindas, tapi juga memproduksi kebenaran dan realitas sosial”.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...