PSN di Maluku Utara Diwarnai Konflik Agraria hingga Kerusakan Lingkungan

Ternate, malutpost.com -- Foto-foto dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) dan bencana ekologis di Pulau Halmahera memenuhi separuh ruangan Pandopo Benteng Oranje, Kota Ternate, Sabtu, 1 Februari 2025.
Bencana ekologis itu tervisualisasi melalui 30 foto yang membentang di sisi selatan dan barat ruangan Pandopo, menunjukkan betapa mirisnya dampak PSN yang menjadi prioritas pemerintah.
Foto-foto dipajang begitu rapi, setiap gambar menjelaskan situasi dan kondisi di Halmahera. Potret itu bukan hanya sekadar foto, tapi sebuah kenyataan yang menunjukkan separuh tubuh Halmahera telah hancur.
Pameran foto ini merupakan rangkaian kegiatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Ternate, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), TEMPO WITNESS, dan Kurawal Foundation.
Karya-karya yang dipajang tersebut merupakan kumpulan foto milik sejumlah jurnalis Maluku Utara saat melakukan liputan di wilayah lokasi tambang.
Selain talkshow dan pameran foto, ada juga agenda nonton bareng (Nobar) film dokumenter "Kutukan Nikel", orasi budaya jaringan masyarakat sipil oleh Dr. Herman Oesman, maupun Soft Launching Buku yang merupakan hasil liputan 17 jurnalis Maluku Utara dengan judul "Halmahera Jangan Dijual".
Kegiatan dengan tema "Menagih Janji Kepala Daerah Benahi Konflik PSN di Masyarakat" ini menghadirkan lima narasumber, di antaranya akademisi Unkhair Prof. Dr. Muhammad Aris, Direktur WALHI Faisal Ratuela, jurnalis senior Mahmud Ici, Sekretaris Bappeda Herifal Naly Thomas, serta anggota Komisi III DPRD Maluku Utara, Muksin Amrin.
Ketua AJI Ternate, Ikram Salim, mengatakan kegiatan ini merupakan langkah awal AJI Ternate untuk berkolaborasi mengawal isu PSN dan dampaknya di Maluku Utara, terutama di Halmahera. Ini adalah bagian dari kampanye AJI, memberi informasi kepada masyarakat lewat liputan mendalam terkait kerusakan lingkungan di Maluku Utara.
"Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan semangat bagi teman-teman atau orang yang bertanggungjawab mengawal dampak kerusakan lingkungan akibat adanya PSN," ujar Ikram.
Mahmud Ici, jurnalis senior dalam kesempatan itu mengatakan, eksploitasi tambang secara besar-besaran memang berdampak, misalnya kesehatan yang memicu penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) serta kerusakan lingkungan.
"Sudah hampir dua tahun AJI Ternate melakukan peliputan, ada gambaran faktual yang disuguhkan, seperti kondisi masyarakat di lingkar industri tambang, baik di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, maupun Halmahera Selatan," ucap Mahmud Ici.
Sekretaris Bappeda Maluku Utara, Herifal Naly Thomas, menyampaikan di masa transisi pemerintahan Maluku Utara, hilirisasi nikel akan menjadi prioritas.
"Untuk PSN di Weda dan Obi yang dilakukan, kita hanya menyiapkan infrastruktur dengan indikator desa mandiri, sehingga desa manapun bisa maju dan mandiri," katanya.
"Kita berdayakan desa di sekitar PSN. Untuk desa-desa dananya ditingkatkan, masing-masing desa sebesar Rp 1 miliar melalui Dana Desa. Program ini akan dilakukan selama 6 bulan. Kita hanya menjalankan program, namun tidak mengabaikan kesejahteraan," sambungnya.
Sementara itu, Muksin Amrin menyoroti kehadiran pertambangan yang semakin masif di Maluku Utara. Kalau dilihat regulasinya, tujuan PSN itu untuk pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, ternyata itu belum memberikan dampak baik terhadap masyarakat.
"Banyak problem yang terjadi, misalnya hasil tambang output-nya kepada masyarakat sangat kecil. Selain itu, perubahan warna air sungai juga tidak bisa diabaikan. Komisi III DPRD provinsi akan tetap melakukan investigasi," ungkapnya.
Direktur WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela, menjelaskan bahwa kiamat pulau kecil sudah terjadi, sehingga negara harus bertanggungjawab.
"Pemerintah saat ini selalu saja secara mentah-mentah menerima PSN tanpa melakukan kajian yang disandingkan dengan fakta sebenarnya," tutur Faisal.
Ia menambahkan, ada kewenangan daerah yang menjadi variabel penting untuk melakukan evaluasi secara total terhadap perizinan di Maluku Utara, kerena moratorium itu harus dilakukan dengan melihat perubahan bentangan alam yang terjadi.
"Hari ini kita bicara PSN kasus pemindahan masyarakat Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, itu fakta yang terjadi, di sisi lain ada beban ekologi yang harus diperhatikan," ucapnya.
Menurutnya, aspek yang harus dilihat adalah dampak kepada nelayan, misalnya ikan yang tidak dapat dikonsumsi karena tercemar logam berat akibat aktivitas industri tambang, begitu juga masalah kesehatan seperti ISPA yang mengalami peningkatan.
Jika negara tidak melakukan moratorium, kata dia, maka dipastikan akan terjadi bencana ekologi secara besar-besaran. Karena beban daya tampung tidak mendukung lagi, terutama di wilayah Maluku Utara.
Selanjutnya, Prof. Dr. Muhammad Aris menyebutkan apa yang terjadi hari ini merupakan kegagalan perencanaan oleh negara. Kerusakan yang terjadi akibat dari industri tambang selalu berhubungan dengan laut. Hal itu karena laut dianggap hanya sebuah halaman belakang yang tidak memiliki fungsi, padahal jika laut dikelola dengan baik, akan sangat menguntungkan.
"Tidak ada dalam sejarah bahwa daerah yang berada di lingkar tambang itu sejahtera. Bahasa pembangunan, pemerataan, dan kesejahteraan merupakan upaya negara mengelabui rakyatnya, itu sering terjadi di wilayah lingkar tambang," ungkap Aris.
Selain itu, baginya laju penurunan kualitas air di Weda Tengah, Halmahera Tengah, sudah mengalami krisis, sehingga memberi dampak terhadap biota laut maupun ikan yang tidak dapat dikonsumsi. Sistem perencananaan seharusnya memerhatikan kondisi laut, karena lumbung ikan ada di Maluku Utara.
"Jangan sampai muncul gerakan sosial yang akan mengorbankan masyarakat. Pemerintah harus mengambil langkah yang tepat," pungkasnya. (ikh)
Komentar