MEMBANGUN ETIKA DAN MORAL POLITIK

Oleh : Yusuf Hasani(Direktur Maluku Utara Government Watch)

Memang negeri ini salah urus sejak awal dimekarkan pada tahun 1999. Oleh karena itu, pemilihan gubernur pada tanggal 27 November 2024, mestinya diniatkan untuk menghentikan perilaku pejabat yang bermental korup, maka berbicaralah dengan hati nurani setiap pemilih, bahwa pilkada saat ini adalah pilkada perubahan dan perbaikan.

Untuk itu diperlukan calon gubernur yang layak dipilih yakni;;  memiliki rekam jejak yang baik, bersih, berahlak mulia, tidak pernah terindikasi korupsi, atau perbuatan tercela, santun, bersahaja dan  amanah. Dengan kata lain, hanya dengan kepemimpinan yang amanah, terwujud pemerataan pembangunan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Saatnya membangun kesadaran bersama menanggalkan cara berpolitik yang tidak beretika dan melanggar moral. Sebab kekuasaan yang diraih dengan cara -cara yang tidak  bermoral, mustahil akan berbuah keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak atau tidak memperoleh berkah.

Buya Hamka berpandangan “politik tidak edentik dengan kekotoran, manakala dibungkus dengan nilai moral agama. Bahkan berpolitik menjadi mulia dan luhur justru, karena ditopang dengan konsistensi moral agama”. Moral agama dalam proses politik haruslah dijunjung tinggi, disinilah sinerjitas antara moral agama dan praktik politik.

Ikhtiar mewujudkan demokrasi yang berkualitas, tentu saja diperlukan “moral capital” oleh para pelaku politik. Menurut Yudi Latif (2008:8) setidaknya ada empat sumber utama bagi politisi, untuk mengembangkan, menjaga dan memobilisasi “moral capital” secara politik. Pertama, basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan kepada konstituennya (pemilih).

Kedua, tindakan politik; terkait kinerja politisi dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; berhubungan dengan contoh perilaku moral yang konkrit dan efektif menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. Keempat, komunikasi politik; yakni kemampuan atau keterampilan politisi mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.

Berdasarkan keempat ukuran tersebut, kita dapat menakar noral capital dari para politisi dan aparatur negara. Dalam pandangan Yudi Latif, kebanyakan para pemimpin politik telah gugur pada kriteria pertama. Integritas moral politik macam apa oleh pimpinan partai yang “menggelapkan uang negara”.

Kriteria kedua, lebih sedikit lagi yang bisa lolos. Sulit ditemukan partai dan politisinya yang sungguh-sungguh setia pada fatsoen politik atau sanggup menerjemahkan klaim ideologinya kedalam bentuk kebijakan dan agenda politik yang konkrit. Demikian pula partai-partai yang mengibarkan bendera Islam jarang secara sungguh-sungguh memuliakan moralitas Islam; begitupun partai yang mengusung “marhaenisme” tak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan kehidupan rakyat kecil.

Pada kriteria ketiga lebih sulit lagi ditemui pemimpin yang mengklaim sebagai demokrat, justru lebih sering berperilaku tiranik. Kriteria keempat, pemimpin yang mengaku pejuang wong cilik, justru menjaga jarak dengan rakyat. Yudi benar, komunikasi politik para pemimpin belum efektif, karena tak tersedianya mekanisme pertanggungjawaban public, yang menjamin pertautan  antara para pemimpin dengan pengikutnya.

Itu berarti dengan “tiadanya modal moral yang kuat, kita mengalami ketiadaan jangkar keyakinan dan kepercayaan”. Sehingga upaya pemulihan krisis seperti menegakkan benang basah.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...