Pemugaran Benteng Barneveld

Oleh: Edi Triharyantoro
(arkeolog yang pernah menjadi ketua tim mewakili Indonesia memugar Angkor Wat di Kamboja)
Benteng yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1558 itu berdiri kokoh di Jalan Benteng Bernaveld, Kelurahan Amasing Kota, kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Bangunan kolonial ini merpakan bukti sejarah dan kebudayaan yang sarat dengan nilai penting sehingga layak dilestarikan keberadaannya.
Seperti halnya Portugis, Spanyol dan Belanda pun akhirnya datang dan menguasai benteng Barneveld. Benteng yang digunakan sebagai sarana mempertahankan wilayah Bacan karena penghasil rempah-rempah yang merupakan komoditas paling berharga pada waktu itu.
Namun dalam kenyataannya, kondisi eksisting bangunan benteng Barneveld saat ini cukup memprihatinkan karena ada beberapa bagian mengalami kerusakan baik secara arsitektural maupun struktural.
Rusak secara arsitektural dapat menyebabkan kemerosotan nilai penting benteng sebagai Bangunan Cagar Budaya, sedangkan rusak secara struktural bisa menyebabkan keruntuhan bangunan tersebut.
Menyikapi hal tersebut maka Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI yang sudah barang tentu berkoordinasi dengan instansi terkait mengadakan kegiatan penyusunan perencanaan pemugaran benteng Barneveld.
Sebagai mata rantai dari kerja pelestarian Cagar Budaya, khususnya dalam kegiatan pemugaran maka dalam penyusunan perencanaannya akan bertumpu pada azas maupun prosedure sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Kepentingan Ilmiah.
Setiap pelaksanaan kegiatan pemugaran Bangunan dan/atau Struktur Cagar Budaya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, minimal harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan selalu mempertimbangkan azas atau prinsip keaslian.
Pada awalnya, pemugaran Bangunan Cagar Budaya di Indonesia masih berorientasi pada bangunan-bangunan candi . pada waktu itu telah terjadi perdebatan sangat sengit antara Direktur Pertama Jawatan Purbakala yang dipimpin N.J.Krom pada tahun1910, yang kemudian diganti oleh F.D.K.Bosch pada tahun 1916.
Krom selalu menekankan pertimbangan ilmiah didalam setiap pelaksanaan pemugaran. Disisi lain Bosch menyatakan bahwa disamping kepentingan ilmiah, pemugaran juga harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Mengenai pembinaan kembali bangunan yang sudah rusak parah dan runtuh, Bosch merintis babak baru dan menyimpang lebih jauh dari garis-garis yang telah ditetapkan Krom. Pertentangan antara dua arkeolog sekaligus sejarawan tersohor itu berlangsung cukup lama.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar