Ketagihan Menjabat
Oleh: Masri Hamja
(Samurai Maluku Utara)
Undang-undang nomor 3 tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang telah diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 25 april (kompas.com 2 mei 2024) menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat. Persoalan dalam hal pembentukan produk legislasi inilah yang dirasakan tidak sesuai dengan realitas objektif di masyarakat.
Terhadap hal itu, T. Koopman, dikutip oleh Mahfud MD, menyatakan bahwa tujuan utama legislasi “pembentukan undang-undang” bukan sekedar menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat, namun juga untuk menciptakan modifikasi dalam kehidupan masyarakat (Pataniari Siahaan; November 2012).
Ekspektasi implementasi undang-undang desa tersebut diharapkan berimplikasi positif selain merubah paradigma kepala desa yang kental dengan cara berfikir klientalisme seperti sekarang, produk legislasi tersebut diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di desa.
Misalnya, pembangunan infrastruktur yang berkualitas, mudah dan terbantu memperoleh pendidikan yang bermutu bagi masyarakat miskin, pelayanan kesehatan, air bersih dan listrik serta kebutuhan dasar lainnya terfasilitasi secara maksimal untuk dinikmati oleh individu-individu masyarakat. Dengan demikian barulah dikatakan suatu produk legislasi mencerminkan aspirasi rakyat. Dan sebagai penanda menuju Negara kesejahteraan (Welfare State) telah di mulai dengan disahkannya Undang-undang desa.
Dalam konteks kekecewaan terhadap revisi undang-undang desa adalah dikarenakan pengesahannya terburu-buru tanpa menyerap aspirasi masyarakat atau dengan penelitian ilmiah yang berdasar namun hanya bersepakat dengan lembaga APDESI yang negosiasinya mungkin dilakukan dalam ruang gelap.
Karena itu tuduhan bahwa pengesahan revisi undang-undang desa terutama menyangkut dengan masa jabatan merupakan hadiah dari Presiden Joko widodo dengan asumsi anak presiden ikut kontestasi pemilu dan kemudian terpilih sebagai wakil Presiden dalam Pemilu tahun ini diklaim berdasar.
Pengesahan produk legislasi yang sesuai dengan kemauan Presiden sebenarnya mudah dilakukan. Hal itu lahir dari pandangan bahwa hukum merupakan produk politik. Mengenai hal ini, Mahfud Md menuturkan bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan (Mahfud MD; Politik Hukum di Indonesia., Hal 10).
Dilanjutkan oleh Yance Arizona yang berpendapat bahwa politik hukum suatu pemerintahan harus bisa dibaca dalam kaitannya dengan dukungan partai politik mayoritas di parlemen. Semakin suatu pemerintahan memiliki mayoritas dukungan di parlemen maka agenda politik legislasi apa pun dapat dengan mudah diloloskan oleh pemerintah tanpa perdebatan atau hambatan.
Menyadari bahwa dukungan partai politik pada periode kedua pemerintahan Joko widodo sebanyak 81,90 %, sangat mudah mengakomodasi kompromi-kompromi politik yang diinisiasi oleh kelompok pro pemerintahan (Jurnal Konstitusi, Vol 21, issue 1. Maret 2024).
Sekarang kita harus mengalihkan perhatian pada bagaimana agar perilaku pemerintah daerah dan pemerintahan desa dapat dikontrol sehingga masa jabatan yang lumayan lama itu tidak dijadikan bancakan atau penyelewengan kebijakan supaya dapat pula dinikmati oleh individu-individu masyarakat desa? Penulis menawarkan dua pilihan.
Pertama, Segera membatalkan Memorandum Of Understanding (MoU) nomor 110-49 tahun 2018 nomor B-369/F/Fjp/02/2018 dan nomor B/9/II/2018 tentang koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggara pemerintahan daerah.
Terhadap MoU tersebut, pemerintah daerah mengintervensi proses hukum yang akan menjerat kepala desa serta mengintimidasi kepala desa yang bermasalah tersebut untuk kepentingan kepala daerah, keluarganya atau koleganya. Dijadikannya kepala desa sebagai tim sukses atau diintimidasi dalam bentuk lain. Sementara pada sisi lain kepala desa yang secara hukum bermasalah memanfaatkan hubungan klientelisme itu untuk tidak tersentuh hukum.
karenanya pembatalan MoU berarti memutus hubungan antara kepala desa dan pemerintah daerah yang selama ini terjadi. Kedua, Penguatan data masyarakat miskin di desa yang dapat dilakukan dengan pendekatan pendapatan harian, bulanan atau tahunan masyarakat. Dilakukan dengan pemetaan langsung oleh tim yang dibentuk pemerintah daerah. Karena selama ini data masyarakat miskin dari Pendamping desa, PKH dan petugas lainnya tidak bisa diandalkan.
Dengan begitu kebijakan pengentasan kemiskinan akan terlihat apakah jatuhnya kepada mereka yang benar miskin atau orang itu-itu saja yang karena telah memilih kepala desa sehingga mereka terdaftar sebagai penerima. Sebab selama ini, data masyarakat terutama yang menyangkut dengan bantuan pemerintah seringkali disalurkan sesuai keinginan kepala desa.
Dengan demikian, jelas bahwa pertanggungjawaban hukum tidak selalu bisa digugurkan dengan hubugan timbal balik yang sepadan, yang saling menguntungkan, seperti dalam ulasan di atas. Tetapi terdapat kontrol sosial yang kuat dalam kerangka hukum dan dalam paradigma yang mencerminkan kita hidup bernegera.(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Sabtu 25 Mei 2024.
Komentar