Tambang, Tanah, dan Luka yang Terus Diabaikan di Maluku Utara

Nokiskar Samuel Hulahi

Fenomena ini sejalan dengan kritik James Ferguson (1990), yang menggambarkan bagaimana proyek-proyek pembangunan seringkali mematikan politik rakyat.

Pemerintah dan perusahaan tambang datang membawa jargon “pembangunan,” tetapi justru menghilangkan ruang partisipasi dan perdebatan publik. Pembangunan berubah menjadi mesin teknokratis yang menyingkirkan suara masyarakat lokal.

Situasi yang dialami warga Obi mencerminkan apa yang dijelaskan Andre Gunder Frank (1967) wilayah pinggiran yang kaya sumber daya justru terus bergantung pada pusat, karena hasil buminya mengalir keluar tanpa memberi manfaat berarti bagi warga.

Kekayaan nikel di Obi memang menambah devisa nasional, tetapi kesejahteraan warga lokal tetap jalan di tempat bahkan sebagian kehilangan ruang hidupnya.

Tanah Adat yang Tersingkir

Di Halmahera Timur, warga adat terkejut ketika mengetahui tanah mereka masuk dalam wilayah konsesi tambang. Protes yang dilakukan berujung pada kriminalisasi sebelas orang warga.

Ini bukan hanya soal konflik lahan, tetapi juga tentang pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat yang sudah mengelola tanah itu secara turun-temurun.

Menurut Elinor Ostrom (1990), pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas adalah kunci keberlanjutan. Namun, ketika hak-hak komunal ini diabaikan, yang muncul adalah ketegangan dan ketidakadilan. Negara seolah lebih sibuk melayani korporasi ketimbang menjaga rakyatnya sendiri.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...