Tambang, Tanah, dan Luka yang Terus Diabaikan di Maluku Utara

Janji yang Tak Pernah Ditepati
Narasi utama yang digunakan untuk membenarkan aktivitas pertambangan di Maluku Utara adalah “membangun daerah tertinggal.” Namun, kenyataannya jauh berbeda. Ambil contoh Pulau Obi.
Setelah bertahun-tahun menjadi lokasi pertambangan nikel, infrastruktur dasar seperti jalan lingkar pulau, akses air bersih, dan listrik yang stabil masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dinikmati oleh masyarakat. Sekolah dan fasilitas kesehatan juga masih cukup tertinggal jauh.
Padahal, menurut Amartya Sen (1999), pembangunan sejati bukan hanya tentang peningkatan pendapatan, tetapi tentang perluasan kebebasan manusia kebebasan untuk hidup layak, sehat, dan bermartabat.
Dalam konteks Obi, pembangunan yang dijanjikan justru mempersempit ruang kebebasan warga, karena mereka kehilangan tanah, pekerjaan tradisional, bahkan suara dalam menentukan masa depan desanya.
Baru-baru ini, ketegangan sosial muncul di Desa Bobo, Obi, akibat kehadiran perusahaan tambang baru yang mulai beroperasi. Warga kini terbelah antara yang mendukung dan yang menolak.
Sebagian berharap tambang membuka lapangan kerja, tetapi sebagian lain khawatir lingkungan rusak dan laut tercemar. Seorang ibu pendeta bersama sebagian jemaat gerejanya secara tegas menolak aktivitas tambang tersebut.
Bagi mereka, tanah dan laut bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan warisan iman dan kehidupan yang harus dijaga. Penolakan ini menunjukkan bahwa konflik tambang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan spiritual.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar