Laut Wayatim Bukan Sasaran Bom

Aparat pun tak cukup simbol seragam di kantor – harus hadir nyata, menjaga tepi laut dengan “membangun pos” yang tegak di garis pantai.
Pemerintah Halmahera Selatan tak boleh diam, berpaling. Dan masyarakat Wayatim jangan dilupakan. Merekalah penjaga pertama laut ini, bukan kambing hitam saat kerusakan datang.
Yang terpenting kini merancang model perikanan yang berkelanjutan. Bukan hanya hari ini, melainkan untuk esok dan anak-anak yang belum lahir dari kandungan seorang ibu. Mengingat laut ini bukanlah kuburan, ia adalah nafas kehidupan. Dan dengan mengebomnya, sama saja meledakkan rumah kita sendiri.
Saya menulis ini tidak dalam pengertian menghakimi atau menggurui. Tulisan ini lahir dari cinta – kepada Wayatim, pada lautnya, ikan-ikannya, dan kehidupan yang berdenyut di antara pasir, karang, serta gelombang. Saya percaya, perubahan selalu mungkin selama ada kejujuran dalam bertanya dan keberanian untuk melangkah.
Dengan demikian, lewat tulisan ini, saya pun bertanya. Sampai kapan kita biarkan laut Wayatim sekarat dalam senyap, ditikam bertubi oleh destructive fishing? Mengapa bungkam, sementara dentuman bom ikan mencuri harapan anak-anak pesisir?
Padahal laut, sejak dulu, tak pernah diam – ia selalu berbisik lirih: “jangan merusak rumah kami.” Apakah kita akan terus membiarkan logika mereka itu menjalar dan mematikan?
Ataukah kini, memutuskan keberpihakan – merawat laut sebagaimana kita menjaga napas hidup sendiri? (*)
Komentar