Catatan

Mentalitas Pemimpin

Herman Oesman

Robert K. Greenleaf dalam Servant Leadership menegaskan bahwa pemimpin sejati bukan yang dilayani, tetapi yang melayani lebih dahulu (Greenleaf, 1977 : 13). Mentalitas melayani ini menuntut empati, kesabaran, dan perhatian mendalam terhadap kebutuhan orang lain.

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh ketimpangan sosial dan kepentingan politik, pemimpin yang memiliki mentalitas melayani menjadi penyejuk dan perekat sosial. Mereka tidak menggunakan kekuasaan untuk menindas, tetapi untuk memberdayakan.

Zaman kini ditandai oleh ketidakpastian, disrupsi teknologi, dan perubahan cepat dalam nilai-nilai sosial. Mentalitas pemimpin harus adaptif dan terbuka terhadap perubahan.

Baca Juga: Transisi Energi, Praktik Ekstraktivisme, dan Masa Depan Wilayah Pulau

Menurut Ron Heifetz dan Marty Linsky dalam Leadership on the Line, pemimpin harus berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi konflik adaptif, yakni persoalan yang tidak memiliki solusi teknis instan, tetapi memerlukan perubahan nilai dan cara berpikir (Heifetz dan Linsky (2002 : 14-16).

Adaptabilitas bukan berarti mengorbankan prinsip, tetapi memampukan pemimpin untuk tetap relevan, tanggap, dan kreatif menghadapi dinamika. Pemimpin yang statis dan dogmatis akan tertinggal dan kehilangan legitimasi di mata masyarakat.

Dalam konteks Indonesia dan Maluku Utara, mentalitas pemimpin juga harus berpijak pada kearifan lokal. Nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan keberagaman budaya harus menjadi dasar dalam membentuk jiwa kepemimpinan.

Mochtar Lubis (1977) pernah mengkritik pemimpin Indonesia yang memiliki mentalitas feodal dan hipokrit, serta lemah dalam tanggung jawab moral dan sosial.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...