(Sebuah Otokrtitik, Tradisi Sakral di Panggung Sandiwara Para Juri)
Say No to Festival Ela-Ela
Oleh: Rinto Taib
(Kepala Museum Sejarah Ternate)
Beberapa hari lalu beredar sebuah vidio dari seorang konten kreator di TikTok yang berisikan sebuah pertanyaan yang direpost untuk dijawab: "Mo tanya kaks, pembagian hadiah festival ela-ela sampe ini blum bagi, itu bkpa e akak". Rasa penasaran seolah mewakili pertanyaan publik termasuk juga para peserta lomba yang tersebar di ebeberapa kelurahan di kota Ternate.
Realitas ini mengingatkan kita akan ungkapan umum di masyarakat luas: "No Viral No Justice", yaitu sebuah sindiran kepada pihak yang berkepentingan dalam menindaklanjuti problematika yang dihadapi. Masyarakat seolah berasumsi bahwa sebuah pokok masalah yang viral cenderung lebih cepat menemui jalan keluarnya daripada dibiarkan begitu saja. Demikian pula dengan polemik pemenang lomba Festival Ela-Ela yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Ternate.
Bagi masyarakat Moloku Kie Raha, tradisi malam Ela-ela atau menyalakan api disetiap depan rumah pada malam Lailatul Qadar di bulan suci ramadhan merupakan tradisi turun-temurun yang telah berlangsung lama. Pada malam tersebut, dalam ajaran Islam disebut sebagai malam yang sebaik-baiknya dari seribu bulan dan bagi Kesultanan Ternate, perayaan malam Ela-ela diyakini jatuh pada tanggal 27 Ramadhan (meskipun sebagian lagi meyakini malam ini jatuh pada malam ganjil sepulu hari terakhir bulan Ramadhan) sehingga malam Ela-ela menjadi momentum yang teramat sakral.
Begitu berartinya malam Lailatul Qadar tersebut dengan tradisi menyalakan api disetiap rumah penduduk menjadi sesuatu unsur kebudayaan daerah yang menarik untuk dilestarikan serta dikembangkan. Dalam konteks inilah maka Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Kebudayaan menggelar Festival Ela-Ela yang melibatkan pihak kelurahan di Kota Ternate untuk terlibat secara aktif menyemarakkan malam Ela-ela tersebut termasuk pula menggelar perlombaan dengan sejumlah hadiah yang diperuntukkan bagi para peserta lebih dari satu dekade silam meskipun pada tahun-tahun tertentu hal tersebut tidak dilakukan seperti pada saat mewabahnya pandemi Covid-19.
Pada penyelenggaraan tahun 2024, secara simbolis kegiatan ini diawali dan ditandai dengan pembakaran api Ela-ela di halaman depan Keraton Kesultanan Ternate usai shalat Magrib oleh Wali kota Ternate bersama Sultan Ternate pada Hari Sabtu, 26 Ramadhan 1445 H / 6 April 2024 M lalu. Seluruh rangkaian hingga tahap ini berlangsung sukses atas kerjasama yang baik dari semua pihak hingga akhirnya menjadi masalah ketika tiba saatnya untuk dilakukan penjurian oleh para dewan juri.
Masalah yang kemudian menjadi penyebab keterlambatan dalam pengumuman hasil penjurian itu sendiri oleh Wali kota sebagaimana yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya yaitu pembagian piala dan hadiah kepada para pemenang lomba yang diserahkan langsung pada hari pertama upacara bendera saat halal bi halal usai liburan hari raya idul fitri di halaman kantor Wali kota Ternate.
Permasalahan yang bersumber di internal dewan juri dimana saya pribadi selaku salah satu anggota dewan juri melakukan protes atas mekanisme penjurian lomba festival Ela-Ela tahun 2024 yang jauh dari objektivitas dan fakta perlombaan dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, Keputusan penjurian (kategori pemenang) hanya diputuskan secara sepihak oleh 5 orang juri dan tidak melibatkan keseluruhan Tim Juri yang berjumlah 30 orang sebagaimana nama-nama yang tercantum pada SK Dewan Juri yang keseluruhannya berasal dari Dinas Kebudayaan;
Kedua, Tidak dilakukan pembahasan mendalam atau kajian berdasarkan dukungan data lapangan berupa dokumentasi foto dan vidio sebagai dasar pembuktian. Hal ini penting dilakukan mengingat para dewan juri yang tersebar pada masing-masing lokasi yang tidak saling mengetahui secara jelas konten acara dan kualitas pelaksanaan kegiatan dari masing-masing peserta lomba di masing-masing kelurahan yang tersebar.
Ketiga: Rekapitulasi angka penilaian bukanlah dasar mutlak penentuan pemenangan lomba karena hal mendasar selain item kriteria penilaian adalah keterkaitannya dengan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan dan juga Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kota Ternate yang idealnya sebagai kiblat bersama agenda-agenda pemajuan kebudayaan daerah.
Keempat: Kebudayaan bukanlah soal kalkulasi angka-angka yang sarat tendensi keberpihakan personal seperti misalnya karena alasan dewan juri adalah "anak kampung" atau pertimbangan dimana kelurahan yang mengikuti lomba adalah "tempat lahir" dari sang dewan juri, ini sebuah kesalahan fatal.
Kebudayaan terkait erat soal interpretasi atas ragam unsur budaya itu sendiri yang melingkupinya sehingga diperlukan perspektif mendalam yang seharusnya diperbincangkan dalam penjurian. Pada konteks ini anehnya juri yang sekali lagi hanya 5 orang dari total 30 orang mengambil keputusan sepihak tanpa didiskusikan secara terbuka dalam menetapkan kategori juara.
Berdasarkan empat poin dari "raport merah" para juri tersebut diatas maka hal ini jelas-jelas menjadi variabel penghambat dan sekaligus contoh buruk dari pengambil kebijakan itu sendiri dalam agenda-agenda pemajuan kebudayaan. Semestinya perlu didiskusiakan berdasarkan dukungan foto dan vidio selain sebagai dokumen penting memperkuat narasi juga tentunya sebagai media edukasi bagi para juri sendiri, para peserta lomba serta publik akan nilai pentingnya event ini digelar bukan sebaliknya, pengaburan fakta dan pembodohan yang secara sistimatis dilakukan oleh penyelenggara event. Hal ini juga seolah ingin menunjukan kebobrokan kepemimpinan dan merepresentasikan mentalitas "malas mikir" yang dipelihara secara terlembaga di institusi urusan kebudayaan daerah kita.
Semoga hal seperti ini menjadi bahan evaluasi kepala daerah sehingga kesalahan-kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh pimpinan OPD dan bawahannya tidak serta merta harus ditanggung akibatnya oleh kepala daerah yang kemudian dianggap inkonsisten dalam mewujudkan agenda-agenda pemajuan sebudayaan sebagaimana yang dinilai salah dan dialamatkan selama ini.
Konteks tulisan ini bukanlah rasa keberatan penulis kepada para pihak penerima hadiah atau para juara pemenang lomba melainkan sebuah "protes keras" agar juri bertindak profesional dan menjalankan peran yang mengedukasi bukan sebaliknya memberikan nominasi juara karena subjektivitas "sekampung asal" ataupun tendensi-tendensi lainnya.
Semua peserta lomba akan sepakat jika metode penjurian bermental feodal ini dipertahankan maka saya yakin dikemudian waktu ada pernyataan publik "Say No to Festival Ela-Ela" yang diselenggarakan pemerintah daerah dan pastinya tidak akan ada kelurahan yang ikut mendaftar sebagai peserta lomba dalam gelaran festival Ela-Ela tersebut dikemudian nanti.
Bukan hanya itu, kesalahan seperti ini turut pula mengaburkan spirit dan kesakralan malam Ela-Ela untuk dipahami dalam perspektif sains juga teologis, justeru dipandang sekedar "rameang" atau sandiwara belaka yang dilakoni oleh penyelenggara, terutama bagi generasi muda akibat hilangnya nilai-nilai edukasi yang diharapkan mampuh ditransfer sebagai elemen pengetahuan lokal (local knowledge).
Bukankah kita sadari bahwa cara-cara seperti ini merupakan wujud lain dari praktek penjajahan (neo kolonialisme) ?, sebagaimana pesan Juri Lina dalam karyanya Architects of Deception - Secret History of freemansonry bahwa ada tiga cara melemahkan dan menjajah sebuah bangsa: 1). Kaburkan sejarahnya; 2). Hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya; 3).
Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya bodoh dan primitif. Semoga menjadi perenungan kita semua. Ingatlah pula bahwa sejarah bukan hanya perkara masa lalu, sejarah mengutip Hasyim Wahid, adalah: "Adalah peristiwa masa lalu yang melahirkan masa kini, dan menentukan masa depan".(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Rabu 22 Mei 2024.
Komentar