Kemerdekaan yang Tergadai
Bumi Fagogoru

Oleh: Harun Gafur
(Pegiat Literasi TERAS SAGU)
Negara, bahkan pemerintah provinsi Maluku Utara seakan lupa, dan terkesan menutup mata hati persoalan penegakkan hukum dan hak asasi manusia di Bumi Fagogoru yang tergadai akan harga diri kemanusiaan, dari peristiwa ke peristiwa teror dan pembunuhan yang terjadi, dan bahkan selalu diperbincangkan dikalangan aktivis, LSM, dan Komunitas, serta dikalangan para ahli hukum yang enta kemana? dan hanya menjadi angin lalu bagi kalangan legislatif bahkan eksekutif disetiap momen peristiwa kemanusiaan.
Namun tujuan untuk mencari suatu konsep ideal, tentang negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini masih diselimuti oleh kabut, bahkan bertahun-tahun lamanya konsep negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang dianggap ideal tersebut, selalu menjadi perdebatan, negosiasi dan akhirnyapun sampai saat ini tak tuntas dimeja keadilan dan peradilan.
Terlebih-lebih selama ini ada kesan bahwa pemahaman terhadap hak asasi manusia sering dimaknai secara dangkal karena hanya dianggap sebagai pedoman moral sosial semata. Pemahaman yang demikian merupakan pemahaman yang keliru, pemahamannya bukan hanya pada tatanan moral sosial tetapi juga pada tatanan hukum dan keadilan sebagai mahluk tuhan. Kenyataan menunjukkan akibat pemahaman yang dangkal tersebut terhadap hak asasi manusia, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi sering tidak dilaksanakan secara tepat sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara hukum, dan amanat dari tuhan.
Menurut hemat penulis Institusi, lembaga dan sistem peradilan di Indonesia pada umumnya dan khusunya wilayah Maluku Utara belum mampu menjamin hak warga negara dalam memperoleh keadilan, khususnya kelompok petani, buru, nelayan, miskin desa, minoritas, dan marjinal. Hal ini sayangnya diperparah oleh minimnya dukungan pemerintah terhadap penyediaan bantuan hukum bagi mereka yang lemah.
Alokasi anggaran bagi bantuan hukum dan jangkauan pelayanan organisasi bantuan hukum (OBH) serta paralegal komunitas sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan tersebut di tingkat lokal masih terbatas. Infrastruktur kelembagaan serta kebijakan di tingkat kabupaten/kota juga tidak merata dan praktik korupsi yang terjadi di pengadilan masih marak terjadi.
Tak hanya itu, dalam penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu masih lemah. Negara (pemerintah) hingga kini belum mampu memenuhi hak para korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti hak mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas pemulihan. Berbagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan mewujudkan keadilan bagi para korban hingga kini tak kunjung membuahkan hasil.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan mewujudkan penegakan hukum dan reformasi sistem peradilan di Tanah Air, begitu juga dengan aktivis dan beberapa LSM yang bergerak dibidang pendampingan hukum dan peneggakkan kedialan berupaya keras untuk memfokuskan kerja-kerjanya pada upaya peningkatan akses terhadap keadilan dan perwujudan keadilan transisi melalui pendampingan kelompok-kelompokKemerdekaan korban agar bisa berpartisipasi dengan baik dalam proses pencarian kebenaran dan rekonsialisasi demi terwujudnya penyelesaian pelanggaran HAM yang dimpikan oleh semua kalangan.
Bumi Fagogoru; Kemerdekaan Yang Tergadai.
Perdebatan mengenai keadilan dan kepastian hukum yang tergadai dalam praktik penegakan hukum di Indonesia tampaknya masih akan berlangsung dan masih akan berputar pada pusaran yang sama. Setelah beberapa waktu lalu kasus pembunuhan yang terjadi terhadap korban Kiki Kumala, dalam keterangan pers Kabid Humas Polda Maluku Utara, AKBP Hendry Badar, (https://beritamalut.co/2019/09/20) dalam keterangan persnya di ruangan Humas Mapolda Malut, mengatakan, bahwa kronologis kejadian pada Selasa 16 Juli 2019, sekitar pukul 08.00 WIT.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar