(Kerja Superman, Upah Supermie)
Buruh Pendidik

Kesejahteraan.
Barangkali, oleh pelajar yang gandrung akan paham kiri ekstrem, tanpa ragu akan melabeli kata “kesejahteraan” sebagai pemikiran seorang borjuasi yang hasratnya melulu materialistis. Padahal, kalau kita naik ojek dan angkot dari Akehuda ke Gambesi, atau naik motor laut dari Ternate ke Tidore, tidak bisa dibayar dengan bismillah atau terima kasih. Kita tidak lagi hidup di zaman barter, walau dalam beberapa keadaan, relasi kemanusiaan dalam bingkai etika kepedulian yang filantropis, menjadi landasan untuk itu.
Upaya untuk terus memelihara harapan agar tungku dapur tetap menyala, perut selalu terisi, pendidikan berjalan lancar, pakaian tak kusut-kusut, tempat tinggal tak akan lapuk, selalu hadir dalam setiap benak pekerja. Itu masih di tahap individual, belum komunal hingga sosial. Oleh karena itu, kesejahteraan pekerja mesti dipertimbangkan betul-betul oleh pembuat kebijakan.
Tentang itu, Rocky Gerung dengan tegas mengucapkannya di dalam podcast Gita Wirjawan, bahwa pendidik mesti diberikan insentif habis-habisan, demi menghasilkan generasi yang bermutu. Kenyataannya sekarang, para pendidik mesti mencari sampingan demi memenuhi kebutuhan hariannya. Secara persentatif, angka juga menunjukkan bahwa profesi pendidik menjadi bagian terbesar yang terjerat pinjaman online. Dalam bahasa yang sederhana, secara jenaka sebuah adagium berbunyi: “kerja superman, gaji supermie.”
Untuk memberi solusi alternatif tentang kesenjangan kerja dan gaji, beberapa pihak menilai bahwa insentif yang cukup, akan memenuhi kesejahteraan. Kendati demikian, kasus-kasus korupsi tidak jarang menunjukkan kepada kita semua bahwa orang-orang tersandung kasus korupsi, tak jarang adalah orang-orang yang berpunya. Sehingga, solusi yang sama tidak bisa diterapkan untuk semua jenis watak dan mental. Pihak yang memiliki wewenang, perlu untuk melakukan pengawasan yang super-super ketat. Pengawasan yang super ketat perlu diterapkan demi menuai hasil yang maksimal.
Dengan demikian, maka pendidik yang terfilter kemudian adalah pendidik yang benar-benar memiliki kapasitas, bertanggung jawab, berwatak dan bermental bijak, serta senantiasa merasa cukup dengan apa yang diberikan. Keseluruhan narasi ini, memang kompleks, tapi mesti dipertimbangkan, demi MERDEKA yang sesungguhnya, bukan sekedar surga telinga dalam kurikuum.
Terakhir, tak lupa dan sekali lagi, Selamat Hari Buruh! Selamat Hari Pendidikan!
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, 6 Mei 2024.
Komentar