Antara Gastronomi, Identitas dan Siapa yang Berhak Mengklaim Sebuah Makanan?

Hari Rempah Nasional

Syahyunan Pora

Bisa jadi kita masih menganggap enteng terhadap dokumentasi akademik mengenai gastronomi, lalu kita hanya berharap pada tradisi kuliner yang akan hidup secara lisan.

Atau bisa jadi Branding kuliner daerah lain memang lebih serius mempatenkan identitas budaya kuliner mereka dengan tidak sekadar berharap orang akan tahu dengan sendirinya melalui aspek sosio-histori, sosio-linguistik maupun sosio kultural.

Meski UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan bersama instrumen turunannya PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) tidak mengatur “paten” kuliner secara eksklusif.

Namun inventarisasi seperti mencatat, mendeskripsikan, mendokumentasikan serta pengembangan dan perlindungan disediakan oleh Negara untuk daerah agar dapat memastikan identitas kulinernya sebagai bagian dari warisan budaya tak benda (WBTB).

Dengan demikian kuliner tersebut lebih mudah dikenali sebagai “milik” daerah tertentu secara kultural, meski secara historis berasal dari daerah lain. Identitas kuliner suatu daerah tidak hanya dibentuk oleh sejarah, begitu juga dengan identitas yang “dibumbui” oleh pariwisata.

Budaya kuliner selalu dituntut dan tertata oleh sistem dan administrasi dalam kebudayaan. Gastronomi bukan sekadar urusan wisata kuliner. Ia adalah panggung filsafat tentang siapa kita sebagai bangsa, dan apakah kita mampu meneguhkan identitas budaya kita melalui makanan? Waulahhua’lam bissawab (*)

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...