Mantra Merdeka

Di wilayah Halmahera, misalnya, industri nikel berkembang pesat untuk memenuhi kebutuhan global kendaraan listrik. Namun, masyarakat lokal kehilangan tanah, laut tercemar, dan budaya tergilas.
Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama pembangunan dan kemerdekaan ekonomi, padahal sesungguhnya hanya menciptakan ketergantungan baru terhadap kapital global.
Baca Juga: Transisi Energi, Praktik Ekstraktivisme, dan Masa Depan Wilayah Pulau
Dalam kondisi penuh paradoks ini, mantra merdeka tidak boleh berhenti sebagai seruan seremonial setiap 17 Agustus. Ia harus dihidupkan kembali sebagai energi perlawanan. Kemerdekaan merupakan kebebasan sejati hanya mungkin lahir melalui kesadaran kritis dan aksi kolektif rakyat.
Merdeka harus menjadi gerakan untuk melawan kemiskinan, menolak rangkap jabatan, menuntut keadilan pajak, membela kebebasan berekspresi, menghentikan kekerasan, menyelamatkan lingkungan, dan melawan ekstraktivisme.
Mantra ini harus diucapkan di ladang, di kampus, di jalan raya, dan di setiap ruang perlawanan. Merdeka bukan sekadar kata, tetapi cita-cita yang harus diperjuangkan setiap hari.
Ketika rakyat miskin, pejabat serakah, pajak mencekik, warga dibungkam, kekerasan merajalela, lingkungan rusak, dan ekstraktivisme menjarah, maka mantra merdeka harus kembali didengungkan sebagai api perjuangan. Sebab tanpa keadilan sosial, kemerdekaan hanyalah ilusi.
Seperti Bung Hatta pernah mengingatkan: “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu gerbang menuju masyarakat adil dan makmur” (Hatta, 1953 : 17).
Maka, sudah saatnya kita bertanya: apakah mantra merdeka masih hidup di tengah luka bangsa, atau ia telah berubah menjadi sekadar gema kosong di ruang upacara? (*)
Komentar