Mantra Merdeka

Herman Oesman

Merdeka sejatinya juga berarti membebaskan diri dari belenggu penindasan, termasuk dari penindasan politik. Namun, dalam kenyataan, banyak pejabat yang merangkap jabatan di lembaga negara maupun perusahaan milik negara (BUMN).

Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip etika publik, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan menjadi kartel yang hanya melayani segelintir elite.

Baca Juga: Menggugat Narasi Kemajuan, Merayakan Pulau

Penelitian Aspinall dan Berenschot mengungkapkan, bahwa politik Indonesia masih dikuasai praktik patronase, di mana jabatan dijadikan sumber rente, bukan pengabdian (Aspinall dan Berenschot, 2019 : 113).

Dalam kerangka ini, rakyat hanya menjadi objek politik, sementara elite terus mengokohkan kekuasaan melalui rangkap jabatan yang melemahkan integritas demokrasi.

Pada sisi lain, warga negara membayar pajak dengan harapan memperoleh layanan publik yang layak. Namun, kenyataan berbeda. Pajak makin tinggi, tetapi kualitas pelayanan publik acapkali rendah. Infrastruktur sosial seperti sekolah, rumah sakit, dan transportasi publik masih timpang antara kota dan desa.

Kasus Kabupaten Pati dan beberapa daerah dengan penetapan pajak yang tinggi, dapat kita baca dalam kerangka ini. Tentang hal ini, Joseph Stiglitz mengingatkan, bahwa beban pajak yang berat tanpa redistribusi yang adil hanya memperbesar ketimpangan sosial (Stiglitz, 2012 : 45).

Di Indonesia, pajak lebih banyak membebani kelas menengah dan bawah, sementara korporasi besar kerap lolos dari kewajiban pajak melalui berbagai celah hukum.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...