Site icon MalutPost.com

AI dan Krisis Ekologi: Solusi atau Ancaman Baru?

Arifin Muhammad Ade

Oleh: Arifin Muhammad Ade
(Mahasiswa Doktoral Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB University)

Beberapa dekade terakhir, dunia diperhadapkan dengan dua tantangan besar, yakni menurunnya kualitas lingkungan ke tingkat yang semakin mengkhawatirkan atau krisis ekologi, serta munculnya kecerdasan buatan (artificial inteligensia/AI) yang telah membawa transformasi besar dalam kehidupan manusia.

Krisis ekologi dan AI merupakan dua isu yang berbeda secara substansi, namun memiliki titik temu dalam konteks dampak dan solusi bagi keberlanjutan lingkungan. Keduanya mencerminkan dinamika zaman modern.

Baca Juga: AI dan Kemudahan Baru dalam Dunia Riset

Di satu sisi, krisis ekologi menuntut perhatian mendesak. Di sisi lain, AI menawarkan potensi inovatif untuk menganalisis, memantau, dan merespons permasalahan ekologis berbasis data yang akurat.

Topik inilah yang menjadi pembahasan dalam Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai pada 2023 lalu. Dalam COP-28 tersebut, para pihak mendukung pelaksanaan Initiative on Artificial Intelligence for Climate Action.

Sebuah inisiatif yang diupayakan untuk mempercepat pemanfaatan AI dalam aksi iklim global, serta sebagai salah satu solusi untuk memerangi pemanasan global.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 10 Juli 2025

Menindaklanjuti hal tersebut, United Nation Environment Program (UNEP) kemudian memanfaatkan AI sebagai alat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam laporan yang dirilis oleh UNEP pada April lalu, dijelaskan bahwa AI telah dimanfaatkan untuk memetakan lokasi pengerukan pasir ilegal, mendeteksi emisi metana dari gas rumah kaca, serta memperkuat pengambilan keputusan dalam proyek-proyek konservasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Walaupun perkembangan AI dapat dimanfaatkan untuk menjawab persoalan ekologis, namun dalam beberapa kasus, AI juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

Sebuah artikel berjudul “Ecological Foot Print, Carbon Emissions, Energy Transition: The Impact of Artificial Intelligence” yang dipublikasikan di Nature pada 2024 lalu, menjelaskan bahwa pertumbuhan eksplosif dalam kemampuan AI disertai pula dengan peningkatan eksponensial dalam konsumsi energi yang diperlukan untuk pelatihan AI.

Baca Juga: Memaknai Perjuangan: Antara Gerakan Ekologis dan Gerakan Teologis

Selain itu, peningkatan penggunaan AI turut berkontribusi terhadap bertambahnya volume limbah elektronik – isu lingkungan yang semakin mendesak beberapa tahun terakhir.

Perangkat elektronik yang digunakan dalam teknologi AI, mengandung berbagai bahan kimia berbahaya, termasuk timbal, merkuri, dan kadmium.

Apabila limbah ini tidak dikelola dengan benar, zat-zat tersebut dapat mencemari tanah dan air, serta menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia dan ekosistem.

Baca Juga: Kecemasan Ekologi: Polusi Sampah dan Perubahan Iklim

Terkait limbah elektronik, laporan yang dirilis United Nation for Training and Research, International Telecommunication Union dan The Foundation Carmignac bertajuk “Global E-Waste Monitor 2024”, melaporkan bahwa terjadi peningkatan signifikan dalam produksi limbah elektronik global dari 34 miliar kg pada tahun 2010 menjadi 62 miliar kg pada tahun 2022.

Tren ini diproyeksikan terus meningkat dan mencapai 82 miliar kg pada tahun 2030. Pertumbuhan limbah elektronik yang sangat signifikan tersebut, tak terlepas dari kemajuan teknologi, khususnya dibidang AI.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tingkat konsumsi yang lebih tinggi, opsi perbaikan yang terbatas, siklus hidup produk yang pendek, meningkatnya elektrifikasi, dan infrastruktur pengelolaan limbah elektronik yang tidak memadai, merupakan penyebab semakin meningkatnya limbah elektronik.

Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi kedua persoalan di atas?

Dikenal sebagai negara mega-biodiversity dan termasuk dalam anggota United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia perlu memanfaatkan teknologi AI untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, sekaligus mendukung aksi-aksi iklim berbasis teknologi.

Baca Juga: Hilirisasi Nikel dan Luka Ekologis di Teluk Weda

Lebih dari itu, AI berpotensi memberikan solusi konkret terhadap berbagai persoalan ekologis lainnya di Indonesia.
Dilansir Kompas (24/10/2024) dalam artikel bertajuk “Inovasi AI, Menuju Ekonomi Berkelanjutan”, dijelaskan bahwa AI memang menawarkan metode inovatif untuk meningkatkan kesadaran ekologis, tetapi implementasinya penuh tantangan.

Setidaknya, AI mengandalkan data berkualitas tinggi untuk menghasilkan analisis yang akurat, serta membutuhkan biaya investasi yang tinggi. Jika data yang tersedia berkualitas rendah, serta keterbatasan sumber daya finansial, maka hal ini akan menjadi kendala.

Selain itu, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi guna mengoptimalkan pemanfaatan dan pengembangan AI, khususnya dalam mengatur tatanan ekologis.

Baca Juga: Transisi Energi, Luka yang Ditinggalkan di Halmahera

Pertama, Indonesia perlu memiliki regulasi tentang AI yang jelas agar penggunaannya berlangsung secara etis dan bertanggung jawab.

Pada 2020, pemerintah Indonesia memang sudah merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) yang memuat etika dan kebijakan AI. Namun, Stranas KA bukanlah dokumen yang mengikat, melainkan hanya arah kebijakan nasional.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kedua, perlu dipersiapkan talenta-talenta digital yang mumpuni untuk mengoperasikan teknologi AI. Talenta AI harus memiliki pemahaman lintas disiplin, termasuk wawasan ekologi.

Hal ini penting agar AI dapat dimanfaatkan untuk merancang solusi inovatif terhadap persoalan-persoalan ekologis. Penguatan kapasitas ini dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dengan memulai kurikulum yang mengintegrasikan AI dengan isu-isu keberlanjutan.

Baca Juga: Bencana Ekologi

Ketiga, infrastruktur digital dan dataset yang memadai juga menjadi prasyarat utama bagi pengembangan AI yang berdampak positif bagi lingkungan.

Data spasial mengenai perubahan tutupan lahan, pencemaran air dan udara, distribusi spesies, serta perilaku konsumsi masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun model AI yang akurat. Sekaligus membangun infrastruktur komputasi yang hemat energi dan rendah karbon.

Baca Juga: HMI dan Krisis Ekologi di Era Hilirisasi

Keempat, memastikan keberlanjutan riset dan inovasi AI yang berorientasi ekologis. Negara perlu memberikan dukungan dana kepada startup, akademisi, dan lembaga riset yang mengembangkan AI untuk solusi lingkungan – baik dalam bentuk hibah riset, keringanan pajak, dan sebagainya. Pendanaan ini bukan sekadar investasi teknologi, melainkan investasi dalam masa depan ekosistem Indonesia.

Setelah mengatasi tantangan di atas, maka Indonesia dapat memanfaatkan AI untuk menawarkan solusi inovatif untuk menyelamatkan masa depan bumi dan manusia.

Baca Halaman Selanjutnya..

Namun, keberhasilan pemanfaatan AI untuk krisis ekologi bergantung pada tata kelola yang baik. Dengan pendekatan yang tepat, AI bisa menjadi instrumen penting untuk mempertahankan masa depan bumi dan seluruh penghuninya.

Semuanya berada di tangan manusia. Akankah memanfaatkan sisi positif dari AI atau sebaliknya. Mengutip Yuval Noah Harari dalam “Nexus: A Brief History of Information Network from the Stone Age to AI”, ia mengungkapkan bahwasanya dalam beberapa dekade mendatang.

AI kemungkinan akan memperoleh kemampuan bahkan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru, baik dengan menulis kode genetik atau dengan menciptakan kode anorganik yang menghidupkan entitas anorganik.

Artinya, AI dapat mengubah arah tidak hanya sejarah spesies kita tetapi juga evolusi semua bentuk kehidupan. Untuk itu, sebagai antisipasi bagi Harari, “tundukkan algoritma dan AI melalui regulasi-regulasi yang ketat, dan fokuslah pada membangun institusi yang memiliki mekanisme koreksi diri yang kuat.” (*)

Exit mobile version