Warisan yang Terkubur dalam Gemuruh Pembangunan

FAGOGORU

Riski Ikra

Fagogoru mengajarkan bahwa setiap tindakan harus memikirkan dampaknya hingga tujuh generasi ke depan, sebuah logika ekologis dan moral yang tak dimiliki oleh pembangunan yang hanya berorientasi pada investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Namun sayangnya, pendidikan kita justru menjauh dari akar budaya ini. Anak-anak di Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur diajari soal revolusi industri Eropa, tetapi tidak diajak memahami makna Lalayon, Cakalele, dan Falsafah Fagogoru.

Baca Juga: Bumi Fagogoru

Sistem perladangan tradisional yang menjadi cermin keseimbangan antara manusia dan bumi. Mereka bisa menjawab soal pilihan ganda tentang globalisasi, tetapi tidak tahu bahwa menebang pohon tanpa ritus adalah penghinaan terhadap siklus kehidupan yang diyakini leluhurnya.

Pendidikan kita menjadi asing di tanah sendiri. Ini bukan sekadar kegagalan kurikulum, ini adalah bentuk kolonialisme baru: menjauhkan anak dari tanah, dari nilai, dari sejarahnya sendiri.

Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu (1930-2002), pernah menyebut bahwa sistem pendidikan mereproduksi ketimpangan sosial dengan memaksakan budaya dominan sebagai standar kebenaran.

Dalam konteks Halmahera Tengah, pendidikan yang mengabaikan Fagogoru adalah bukti bahwa negara melalui kurikulum dan kebijakan secara sistematis menghapus identitas lokal dan menggantikannya dengan nilai-nilai luar yang tak berakar.

Sedangkan Anthony Giddens, asal inggris (1938) dalam gagasan refleksivitas modernitas, mengingatkan bahwa masyarakat modern harus terus merefleksikan ulang pilihan-pilihannya agar tidak terjebak dalam alienasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...