Fagogoru dan Pemilukada
Oleh: Julfi Jamil
(Warga Fagogoru yang bermukim di Ternate)
Tulisan ini merupakan catatan kerisauan, melihat dinamika di media sosial menjalang pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Halmahera Tengah yang menjadikan fagogoru sebagai narasi eksklusif seolah-olah yang memiliki hak untuk mengambil peran dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Hanya generasi yang basar dan tumbuh di Halmahera Tengah sehingga memicu terjadinya perdebatan yang membela masyarakat Halmahera Tengah.
Fagogoru dijadikan simbol untuk melabeli para politisi lokal di Halmahera Tengah sebagai warga masyarakat yang paling berhak untuk maju ke singgasana.
Padahal menelisik fagogoru merupakan suatu institusi yang berdasarkan cerita rakyat dan mitos, dahulu orang tidak menyebut fagogoru melainkan Gamrange yang merupakan panggalan bahasa Tidore yang artinya tiga kampung yakni kampung Were (Weda), Poton (Patani) dan Mobon (Maba) yang diyakini memiliki hubungan persaudaraan yang kemudian berpisah menempati masing-masing wilayahnya.
Atas dasar persaudaraan yang berbeda wilayah tersebut maka berikrar membangun suatu tatanan nilai yang bertujuan untuk mengikat rasa persaudaraan sehingga melahirkan nilai Ngaku rasai (rasa persaudaraan), Budi re Bahasa (tingkah laku dan tutur kata yang terjaga kepada sesama).
Sopan re Hormat (sikap perilaku, kesantunan, serta hormat menghormati), Mtat re Mimoy (malu dan takut melakukan kesalahan). Nilai-nilai tersebut kemudian di aktualisasi dalam bentuk prilaku Faisayang (saling menyayangi), Faisiling (saling mengingatkan), Falgali (saling membantu), Fantene (saling memberi), Fasigaro (ajakan kebersamaan), Fadedele (mengikut-sertakan) dan lainnya.
Nilai historis dan mitos yang dibangun para leluhur Weda, Patani dan Maba menjadi informasi sekaligus latar belakang dalam membangun makna dan ide-ide untuk dikontektualisasikan dalam bentuk institusi Fagogoru dengan tujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan, rasa rindu dan rasa sayang sesama.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar