Sejarah Penataan Ruang di Tidore pada Masa Kerajaan

Sejarah penataan ruang kewilayahan mulai diperkenalkan sejak periode perjanjian Augsburg (1555) di Eropa maupun era Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811 (masa tanam paksa).
Perjanjian Augsburg menggambarkan bagaimana perang agama antara Protestan dengan Katolik di Eropa pada 1555 berakhir dengan pemisahan wilayah negara berdasarkan agama yang disebut sebagai “cujus regio ejus religio”, yang berarti; “satu wilayah satu agama”.
Baca Juga: Kesadaran Muda-Mudi terhadap Sejarah: (Berkat dan juga Bencana)
Demikian juga dengan di Jawa, Gubernur Jenderal Daendels dianggap sebagai bapak peletak dasar penataan ruang di era modern.
Perencanaan Daendels sehubungan dengan penataan ruang di Nusantara (Jawa) terinspirasi dari kuatnya toleransi antara pemeluk Islam dan Kristen di Andalusia (Spanyol Islam), serta Baghdad (Persia) antara pemeluk Islam dan Majusi.
Winda Rahayu menjelaskan bahwa di Jawa, oleh Daendels, penataan ruang diretas menjadi tiga wilayah agama, yaitu wilayah Penjajah Protestan, wilayah Penjajah Katolik, dan wilayah Pribumi Islam.
Dengan pemisahan ini, Daendels mempermudah kontrolnya secara politik, di mana ia mampu mempekerjakan kaum pribumi dalam tanam paksa itu untuk kepentingan politiknya.
Secara ekonomi, ia juga mampu meraup keuntungan yang cukup besar dalam periode tanam paksa pada abad ke-19 itu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar