Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang

Bachtiar S. Malawat

Fenomena ini menimbulkan ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Seharusnya pemerintah hadir sebagai penengah dan pelindung hak masyarakat, bukan hanya sebagai fasilitator kepentingan korporasi.

Dalam pandangan Antonio Gramsci, kekuasaan tidak hanya menggunakan kekuatan fisik, tapi juga hegemoninya yaitu bagaimana ide dan nilai kekuasaan diterima oleh masyarakat sebagai ‘normal’.

Dalam konteks ini, narasi bahwa tambang membawa ‘kemajuan’ dan ‘pembangunan’ sering digunakan untuk menutupi kerugian yang dialami rakyat. Soekarno pernah mengingatkan bahwa “Revolusi bukan hanya soal mengganti pemerintah, tapi mengganti mentalitas bangsa”.

Dalam konteks ini, revolusi terhadap cara pengelolaan sumber daya alam sangat diperlukan agar tidak terus menerus terjadi penindasan atas nama pembangunan.

Che Guevara, tokoh revolusioner Amerika Latin, juga mengajarkan bahwa “Revolusi sejati adalah revolusi hati”. Artinya, perubahan harus berakar pada kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakadilan, termasuk yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang dan kekuasaan yang membela mereka.

Konflik antara rakyat adat dan perusahaan tambang besar di Maluku Utara, yang ditandai dengan penangkapan warga dan kerusakan lingkungan, bukanlah masalah sepele yang bisa diabaikan.

Ini adalah masalah struktural yang membutuhkan solusi komprehensif dari berbagai sisi hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu akar masalah adalah minimnya pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam mereka.

Pemerintah harus secara tegas dan legal mengakui wilayah adat dan memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak tersebut.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...