Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang

Bachtiar S. Malawat

Menurut data Komnas HAM 2024, terdapat minimal 15 kasus penangkapan warga adat di Maluku Utara terkait protes terhadap aktivitas tambang. Kasus-kasus ini sering terjadi tanpa prosedur hukum yang jelas dan transparan, yang menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran hak asasi manusia.

Dari Kasus ini mencerminkan pola kekuasaan yang membelokkan hukum untuk kepentingan modal. Negara seolah hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai alat legitimasi kekuasaan korporasi.

Selain persoalan kriminalisasi, dampak lingkungan dari aktivitas tambang menjadi luka yang dalam bagi masyarakat Maluku Utara. Studi dari Lembaga Lingkungan Hidup Maluku Utara tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 35% kawasan hutan adat mengalami degradasi akibat eksplorasi tambang.

Pencemaran sungai dan sumber air bersih menjadi masalah serius. Air yang tercemar limbah tambang menyebabkan warga kesulitan memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Nelayan lokal mengeluhkan menurunnya hasil tangkapan ikan akibat kerusakan ekosistem laut yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.

Dari segi ekonomi, mayoritas warga di wilayah terdampak tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari tambang. Justru sebaliknya, banyak yang kehilangan akses lahan untuk bercocok tanam dan mencari ikan, sehingga tingkat kemiskinan lokal semakin memburuk.

Kekuasaan dan Keterlibatan Negara

Keterlibatan negara dalam mendukung operasional tambang di Maluku Utara sangat nyata. Pemerintah daerah dan pusat sering kali memberikan izin usaha pertambangan tanpa melibatkan warga adat dalam proses pengambilan keputusan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...