Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang

Bachtiar S. Malawat

Dalam konteks ini, narasi bahwa tambang membawa kemajuan dan kesejahteraan menjadi ‘kebenaran’ yang diproduksi oleh kekuasaan, meskipun fakta di lapangan bertolak belakang.

Konflik tambang juga membawa dampak sosial yang serius, perpecahan antar komunitas, kehilangan mata pencaharian, dan rusaknya lingkungan hidup yang selama ini menopang kehidupan masyarakat adat.

Data dari Lembaga Studi Lingkungan Hidup Maluku Utara menunjukkan bahwa sekitar 40% lahan adat terdampak kerusakan akibat aktivitas tambang.

Dari sisi lingkungan, penambangan nikel skala besar telah menyebabkan pencemaran air dan tanah, yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan ikan dan kerusakan hutan. Sementara itu, masyarakat yang menggantungkan hidup dari alam justru harus membayar harga mahal.

Seperti yang diingatkan oleh Soekarno, Presiden pertama Indonesia, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Semangat perjuangan rakyat adat dalam mempertahankan haknya bisa menjadi kekuatan untuk melawan anomali kekuasaan yang merugikan mereka.

Sementara itu, Karl Marx pernah berkata, “Sejarah semua masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas.” Konflik tambang di Maluku Utara bisa dilihat sebagai manifestasi nyata dari pertarungan kelas antara rakyat kecil dan elit korporasi yang didukung oleh kekuasaan politik.

Pada tahun-tahun terakhir, Maluku Utara menjadi titik panas konflik antara warga adat dan perusahaan tambang besar, salah satunya PT. STS. Berbagai laporan menyebutkan adanya intimidasi, kriminalisasi, hingga penangkapan warga yang menolak aktivitas pertambangan di wilayah mereka.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...