KPU Maluku Utara Tegaskan Tidak Ada Perlakuan Istimewa Terhadap Sherly Tjoanda, ‘Force Majure’ Bukan untuk Pengganti

Mochtar Alting

Ternate, malutpost.com -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku Utara (Malut) Mochtar Alting menegaskan tidak ada perlakuan istimewa dalam proses penggantian calon gubernur Malut nomor urut 4.

Dalam hal ini, Sherly Tjoanda yang diproses menggantikan suaminya Benny Laos karena meninggal dunia akibat peristiwa kebakaran speed boat Bela 72 di Pelabuhan Bobong, Pulau Taliabu beberapa waktu lalu.

“Saya ingin klarifikasi tanggapan pihak tertentu bahwa KPU Malut menempatkan pengganti Cagub yang meninggal dunia sebagai keadaan ‘force majure’. Kami tidak menggunakan istilah ‘force majure’ untuk menilai keadaan pengganti calon gubernur nomor urut 4," kata Mochtar, Selasa (22/10/2024).

Mochtar bilang, ‘force majure’ itu disematkan pada peristiwa yang menyebabkan calon gubernur yang telah ditetapkan oleh KPU meninggal dunia, yakni Benny Laos.

"Sekali lagi (force majure) bukan untuk disematkan ke pengganti, walaupun ada korelasi karena dalam waktu bersamaan pengganti dari calon yang meninggal keduanya bersama dalam peristiwa tersebut dan pengganti juga sebagai korban," jelasnya.

Mochtar menyebut, KPU hanya melaksanakan ketentuan Pasal 54 UU 10 Tahun 2016 dan ketentuan derivasif yang berlaku, yaitu ketentuan yang normal diatur. Sehingga kewajiban KPU adalah menindaklanjuti usulan nama pengganti dari calon yang telah ditetapkan namun meninggal dunia.

"Perlu saya tegaskan bahwa sangat prematur menggunakan istilah 'pengalihan rumah sakit '. Tidak ada pengalihan karena KPU Malut dengan RSUD mengikat diri secara keperdataan berbatas waktu, tidak selamanya," jelasnya lagi.

"Dimana KPU Malut melakukan perjanjian kerja sama dengan RSUD Chasan Boesoirie itu hanya pada saat pemeriksaan kesehatan empat paslon, saat itu saja. Karena ada klausul perjanjian bahwa setelah pihak kedua (RSUD Chasan Boesoirie) menyampaikan hasil pemeriksaan ke pihak pertama (KPU Malut), maka disitulah berakhir kerja sama," sambungnya.

Mochtar menerangkan, yang menjadi pembeda antara pengusulan pengganti dengan keadaan normal pencalonan sebelumnya adalah soal alokasi waktu yang tidak sama. Proses penggantian calon dibatasi oleh waktu yang sangat singkat.

Konstruksi norma tentu mempertimbangkan terkait dengan persiapan logistik surat suara dan logistik lainnya yang juga diapit waktu. Tidak hanya proses cetak logistik surat suara, tetapi mulai dari validasi, cetak, distribusi, sortir dan pelipatan.

Semua itu kata Mochtar dipertimbangkan sesuai ketentuan yang berlaku, bukan murni variabel calon pengganti yang sedang dalam perawatan.

"Kami tidak punya otoritas menilai keadaan kesehatan seseorang. Kami hanya mempertimbangkan pihak yang punya otoritas menilai keadaan seseorang dan menempuh sesuai dengan jalur kordinasi dari pihak terkait yaitu dinas kesehatan, sebagaimana amanat regulasi. Itu saja," paparnya.

Mochtar menegaskan, publik atau pihak tertentu punya hak untuk menilai KPU.

"Tapi perlu saya tegaskan bahwa kami tidak akan pernah bergeser dari posisi sebagai penyelenggara yang harus berlaku adil untuk semua pihak. Penegasan ini tidak sekedar isapan jempol tapi benar-benar lahir dari pendirian sebagai penyelenggara Pemilu sesuai amanat undang-undang. Bahwa lembaga KPU adalah lembaga layanan dan layanannya untuk semua pihak tanpa diskriminasi," tandasnya. (nar)

Komentar

Loading...