Catatan Menjelang Pilkada

Menjaga Moloku Kie Raha dari Pancaroba Demokrasi

Sementara pada level akseptansi, yakni mekanisme penerimaan komunitas lain dalam kesadaran koeksistensi, mendorong proses dan pembelajaran mengenai dasar-dasar hidup bersama (living together).

Persis sebagaimana apa yang didalilkan Durkheim sebelumnya bahwa menjaga Moloku Kie Raha tidak cukup hanya dengan solidaritas mekanis, tapi kudu mencapai derajatnya yang organik. Seperti halnya Ibrahim, yang menegaskan tentang butuh lebih dari sekadar toleransi sebagai piranti kohesi sosial, yakni: akseptansi.

Sehingga baik solidaritas organik maupun akseptansi, dapat digunakan sebagai dua kata kunci (key words) dalam memahami konteks kemajemukan serta model interaksi atau perjumpaan seperti yang ada pada masyarakat Maluku Utara.

Kedua kata kunci tersebut, hemat saya, merepresentasi nilai modern yang dapat diintegrasikan dengan nilai tradisional. Pada masyarakat Maluku Utara, misalnya, dikenal falsafah atau nilai tentang “adat se atorang” atau ketentuan moral yang mengatur tatanan sistem politik, sosial dan budaya masyarakat Maluku Utara pada umumnya.

Syahdan, habis pilpres dan pileg, terbitlah pilkada serentak 2024. Rentetan ‘ritus’ demokrasi ini tentu menjadi ujian dan tantangan yang besar bagi keimanan sosial torang sebagai masyarakat Moloku Kie Raha.

Betapa tidak, efek negatif dari pancaroba demokrasi yang ditandai dengan munculnya berbagai macam penyakit sosial seperti korupsi, politisasi identitas agama, etnis, serta kerusakan ekologi memang membawa kekhawatiran besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Moloku Kie Raha di masa depan.

Tetapi juga membuka peluang untuk memperkuatnya kembali di masa kini melalui skema pengaturan ‘iklim’-nya yang senantiasa guyub, sejuk dan harmoni oleh semua pihak pemangku kebijakan. Setidaknya, dengan menyoroti pilkada serentak yang telah ditabuh genderangnya ini menjadi momentum strategis.

Tentu dengan mengintegrasikan nilai-nilai tradisional ke dalam proses demokrasi, Maluku Utara dapat mengembangkan model demokrasi yang tidak hanya inklusif secara politik, tetapi juga berakar kuat pada identitas budaya lokal. Sekian!.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 04 September 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/09/rabu-4-september-2024.html

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...