Korupsi Politik Pertambangan di Maluku Utara

Dampak dari praktik korupsi dalam sektor pertambangan bisa sangat merugikan. Selain kerugian finansial bagi negara dan masyarakat, korupsi juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan alam, serta menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Hadiwiyoso, S. (2023) dan Hadiwiyoso, S., Panggabean, ML., & yang lain (2023) menyarankan agar perlu ada upaya-upaya pencegahan korupsi dalam izin sektor pertambanga dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, hasil penelitian Putri, EA., Rahayu, IP., Komaria, L., & Butar, FB. (2023) juga menyarankan transparansi dan sentralisasi izin usaha pertambangan untuk meminimalkan korupsi. Praktik korupsi dalam sektor pertambangan tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Untuk mengatasi korupsi dalam sektor pertambangan, beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan termasuk peningkatan transparansi dalam proses penerbitan izin, penguatan lembaga pengawasan dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, reformasi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan dan diversifikasi ekonomi juga dapat membantu mengurangi risiko korupsi dalam sektor ini.

Untuk mengatasi masalah korupsi dalam sektor pertambangan, langkah-langkah pencegahan menjadi sangat penting. Ini termasuk peningkatan transparansi dalam proses penerbitan izin, penguatan lembaga pengawasan dan pemberantasan korupsi, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi.

Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam juga diperlukan dengan cara menyerukan pengurangan ketergantungan pada sektor pertambangan dengan Langkah-langkah diversifikasi ekonomi sekor lainnya untuk mengurangi risiko korupsi.

Konteks Maluku Utara
Berdasarkan data Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdaftar di Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (data per Mei 2019), ada 89 IUP di Maluku Utara dengan perincian 7 IUP diterbitkan oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 42 IUP oleh Gubernur Maluku Utara, dan 40 IUP oleh Bupati/Walikota di 10 Kabupaten Kota. Data ini juga mengkonfimasi bahwaan izin produksi 89 IUP dimulainya produksi awal sejak tahun 2023-2040. Izin produksi terbanyak akan dimulai pada tahun 2029 yaitu 14 izin pertambangan, 20 IUP produksi tahun 2030, dan 21 IUP Produksi tahun 2031.

Sisanya rata-rata antara 1-7 IUP Produksi. Jika produksi benar-benar direalisasikan, sebenarnya Maluku Utara diprediksi akan mengalami “economy booming”, periode ekspansi ekonomi yang pesat, menghasilkan PDB lebih tinggi, dan pengangguran lebih rendah. Namun seiring dampak positif, muncul pula dampak buruknya seperti kerusakan lingkungan dan dugaan praktek korupsi pertambangan yang diduga melibatkan oknum pejabat daerah.

Dugaan korupsi pertambangan yang sedang ditangani oleh Lembaga Adyaksa dan KPK penyelidikan terhadap dugaan korupsi ini menyasar petinggi politisi partai politik, eks pejabat daerah, pengusaha mulai dari modus proses penerbitan izin lingkungan hingga penyalahgunaan kekuasaan terkait pelelangan jabatan. Dampak buruk pertambangan dirasakan penderitaannya oleh masyarakat adat yang berdiam di Hutan Halmahera.

Penegasan ini menyerukan perlu adanya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan yang lebih serius lagi. Pentingnya memberlakukan regulasi pertambangan untuk memastikan usaha pertambangan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan termasuk pengawasan ketat terhadap izin usaha pertambangan (IUP) dan perizinan lingkungan. Memang disadari bahwa pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir relatif meningkat pesat.

Berdasarkan data BPS Maluku Utara tahun 2024, pertumbuhan ekonomi sektor Industri dan pertambangan tahun 2021, 2022, dan 2023 relatif tinggi, namun data BPS juga mengkonfirmasi bahwa penduduk miskin di Maluku Utara relatif menanjak naik sejak tahun 2022-2023. Fenomena ini mengambarkan adanya jarak atau gap antara pertumbuhan ekonomi dengan bertambahnya angka kemiskinan di Maluku Utara. Solusinya, diperlukan adanya kolaborasi antara KPK, Parlemen, peradilan, LSM lingkungan hidup, dan dunia kampus dalam menciptakan sinergi yang kuat untuk mengatasi korupsi di sektor pertambangan.

Di sektor Pendidikan, perlu adanya kurikulum pendidikan anti-korupsi dengan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Demikian pula perlu mengintegrasikan komitmen anti-korupsi dalam platform partai politik dengan program kerjanya dalam mengedukasi kader partai terutama calon pejabat publik. Dengan kolaborasi yang efektif antara berbagai pihak, korupsi di sektor pertambangan dapat ditekan, menciptakan pengelolaan pertambangan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Jum'at 24 Mei 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...