Inersia Politik

Oleh: Douglas Panit, S.IP
(Pegiat Literasi)
Perjalanan menuju Tobelo akhir pekan kemarin membuka sebuah perenungan mendalam. Di tengah laju mobil yang membelah jalan, seorang teman mengajukan pertanyaan yang membawa kita kembali ke dasar ilmu fisika: mengapa benda yang dilempar di dalam mobil yang bergerak tetap jatuh di tempat yang sama, sementara di luar akan terlempar jauh?
Jawabannya, tentu saja, adalah inersia, sifat dasar benda untuk mempertahankan keadaan gerak atau diamnya. Prinsip fundamental ini, hukum pertama Newton—bukan hanya domain fisika, tetapi juga terbukti hadir dan beroperasi kuat dalam pusaran dunia politik, menciptakan apa yang dapat kita sebut sebagai inersia politik.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Jumat, 12 Desember 2025
Inersia politik adalah kecenderungan sebuah sistem politik, institusi, atau birokrasi untuk melanjutkan praktik dan kebijakan yang sudah ada, bahkan ketika perubahan radikal dan reformasi mendesak dibutuhkan.
Ini adalah keengganan kolektif, seperti penumpang yang tetap terdorong maju saat mobil tiba-tiba mengerem untuk beranjak dari lintasan yang nyaman, akrab, dan teruji, meskipun lintasan itu sudah usang, korup, menindas, dan tidak adil.
Dalam konteks Indonesia, inersia ini menjelma dalam upaya gigih untuk mempertahankan warisan sistem lama yang menguntungkan segelintir elite.
Warisan Orde Lama dan Semburat Reformasi
Transisi Indonesia menuju demokrasi pasca-1998 adalah momen lompatan dari keadaan diam menuju gerak reformasi. Namun, teori inersia mengajarkan bahwa objek dengan 'massa' besar memerlukan daya dorong yang jauh lebih besar untuk mengubah kecepatannya.
"Massa" politik Indonesia yang dibentuk oleh tiga dekade kekuasaan otoriter Orde Baru, dengan praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang mengakar, ternyata terlalu berat untuk sepenuhnya diubah hanya dengan beberapa gelombang reformasi.
Baca Halaman Selanjutnya..




Komentar