Ketika Negara Jadi Kerajaan Nepotisme Modern

Kedua, partai politik perlu didorong menerapkan mekanisme kaderisasi dan seleksi kandidat berbasis kompetensi; tanpa perubahan internal partai, pola dinasti akan terus berulang.
Ketiga, penguatan lembaga pengawas independen (dengan sumber daya memadai dan perlindungan hukum) adalah kunci agar akuntabilitas bukan sekadar retorika.
Keempat, pendidikan politik warga dan gerakan masyarakat sipil harus terus dibangun agar publik memiliki kapasitas menuntut transparansi dan menolak normalisasi nepotisme.
Tentu, perubahan bukan hanya soal aturan teknis. Ia soal etika publik. Para pemimpin politik harus kembali pada gagasan bahwa jabatan adalah amanah, bukan milik keluarga; bahwa kekuasaan harus dipertanggungjawabkan kepada publik, bukan disalurkan ke jaringan tertutup.
Masyarakat juga perlu menegakkan standar baru: menghargai merit, menolak klaim legitimasi yang dibungkus retorika keluarga, dan menuntut bukti nyata dari janji pembangunan.
Nama KONOHA hendak menjadi peringatan: ketika kita membiarkan nepotisme, oligarki, dan ambisi tersembunyi tumbuh tanpa pembalikan, republik berubah menjadi kerajaan tanpa mahkota.
Berkuasa karena jaringan, bukan karena legitimasi rakyat. Pilihan ada pada kita semua: membiarkan normalisasi itu berlanjut atau mengambil langkah-langkah nyata untuk mengembalikan negara pada prinsip-prinsip republik yang sejati.
Jika kita memilih yang kedua, reformasi institusi, penegakan hukum, dan pendidikan sipil harus berjalan bersama. Itu bukan sebagai proyek sesaat, tapi sebagai komitmen jangka panjang untuk menyelamatkan masa depan demokrasi kita. Sadarlah! (*)



Komentar