Soal Pengusutan Kuota Haji, KPK Jangan Merasa Tersandera

Secara kuantitatif, tergambar nilai kerugian negara dari rentetan kasus korupsi dana haji, juga Dana Abadi Umat [DAU]. Belum lagi potensi dana umat lainnya yang disalahgunakan, dana Baznas misalnya.
Tetapi lebih dari itu, kerugian immaterialnya tak ternilai, tak bisa dihitung. Negeri ini, mayoritas penganutnya adalah Islam. Mereka ikut menanggung malu. Itu karena ibadah haji dipandang sebagai puncak ritual dalam "piramida iman" para pemeluk Islam di negeri yang paling suka membanggakan kadar religiusitas ini. Kita sering melakonkan prilaku paradoks yang luar biasa, lilitan sorban, songkok haji, dan raut pura-pura tak berdosa, membungkus kemunafikan dan kebusukan yang teramat hebat.
Kira-kira, kita harus menunggu hingga kapan lagi, Kementerian ini bisa kembali merepresentasi misinya sebagai pengawal moral bangsa dan umat, ditengah prilaku oknum pimpinannya yang tak bermoral?. Tak berlebihan, jika saya berani mengajukan konklusi di tulisan saya tadi. Dan kita akan mengujinya bersama. Kita pilih menteri agamanya dari kelompok yang tidak beragama. Alasannya, yang beragama sudah gagal berkali-kali. Ada tiga perspektif kegagalan itu: gagal personal, gagal kelembagaan dan gagal keumatan.
Juga, apa yang disampaikan Zulhilmi tadi. Ada alur logika yang benar. Urusan personal dan komunitas di pesantren, belum tentu juga, bisa merepresentasi wajah umat soal urusan amar maruf dan nahi munkar. Apa kurangnya pengetahuan "santriwan" para begal uang negara dan dana umat di Kementerian Agama itu. Tak perlu terlalu dibesar-besarkan urusan tayangan televisi tadi. Hingga Majelis Ulama Indonesia [MUI] ikut berkomentar, seolah kita paling suci. Sudah ada permintaan maaf berulang, cukup. Cerminkan prilaku yang patut dicontohi.
Media Gelora News [19/10], menurunkan salah satu judul, Sebut Halal Darahnya, Banser Ancam Gorok yang mengolok-olok Ulama NU. Dari GELORA.CO [20/10], nama Ketua GP Ansor DKI Jakarta Muhammad Ainul Yaqin menjadi perbincangan warganet gara-gara orasinya yang bernada keras saat demo di depan Kantor Trans7, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Ada desakan ramai nitizen agar komisaris Transjakarta ini dipecat, gara-gara ancam gorok saat demo itu.
Mengutip Hidayatullah.com [14/10], Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengecam keras tayangan salah satu televisi swasta Indonesia yang menghina kiai dan pesantren. PBNU menuntut pengelola mengambil langkah yang jelas untuk memperbaiki kerusakan akibat tayangan tersebut. “Atas nama PBNU, saya menyatakan keberatan dan protes keras terhadap tayangan Trans7 dalam segmen acara Expose Uncensored yang ditayangkan kemarin, hari Senin 13 Oktober 2025,” kata Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf dalam pernyataannya.
Ini perspektif lainnya. Dalam tulisannya berjudul, PBNU: Skandal Politik – dari Infiltrasi Zionis hingga Aliran Dana Haram, Marwah NU Tergerus [18/09], dengan sodoran rentetan skandal selama ini, Malika Dwi Ana menulis bahwa PBNU, sang penjaga marwah Nahdlatul Ulama yang dulu digadang-gadang sebagai benteng kultural umat, kini seolah jadi pabrik skandal politik yang tak pernah tutup. Bukan hanya dugaan korupsi kuota haji ala Yaqut Cholil Qoumas yang bikin nahdiyin akar rumput geleng-geleng kepala, tapi deretan kasus lain yang membuat Khittah 1926 terasa seperti dongeng lama yang utopis. Umat melihat NU sebagai gerakan sederhana, sarungan, dan berjiwa sosial; tapi elit PBNU? Mereka melihatnya sebagai ladang basah untuk politik praktis, infiltrasi ideologi asing, dan aliran dana misterius. Tak ada asap tanpa api, tapi di sini, asapnya dari vape elitis yang terus menghembuskan aroma cuan.
Ada satu hal yang pasti, hingga saat ini, saya belum pernah menemukan berita media, kelompok Banser tadi, yang begitu tenar di rezim Jokowi, menggeruduk KPK mendesak penyelidikan kuato haji segera dituntaskan, meski telah cukup lama heboh. Juga pihak PBNU. Tak ada desakan ke KPK agar pengusutan dugaan penyalahgunaan kuota haji ini dipercepat. Padahal desakan ini juga penting, agar pihak-pihak yang diperiksa, hingga dicekal, tak terlalu lama tersandera soal ini. Hal lain, ini bukan soal ancam-mengancam. Itu kebiasaan buruk, yang mengiringi keburukan rezim sebelumnya. Kita hidup di negara hukum, bukan lagi di jaman jahiliyah.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar