Soal Pengusutan Kuota Haji, KPK Jangan Merasa Tersandera

Anwar Husen

(Pemerhati Sosial/ Tinggal di Tidore, Maluku Utara)

"Tak berlebihan jika saya berani mengajukan konklusi di tulisan saya tadi. Dan kita akan mengujinya bersama. Kita pilih menteri agamanya dari kelompok yang tidak beragama. Alasannya, yang beragama sudah gagal berkali-kali. Ada tiga perspektif yang melengkapi kegagalan itu: gagal personal, gagal kelembagaan dan gagal keumatan"

Untuk ukuran pengungkapan sebuah kasus hukum sejak pemeriksaan, bahkan telah ada pencekalan terhadap saksi, pengusutan dugaan penyalahgunaan kuota haji di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, terbilang lama. Banyak pengamat hingga anggota DPR mendesak percepatannya. Bahkan muncul dugaan dari beberapa pihak, jangan-jangan ada skenario lain membungkam opini tentang dugaan kasus ini, hingga menyanderanya.

Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah kesempatan menyindir kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK], lamban dalam progres penanganan kasus. Entah ini ditujukan untuk pengungkapan dugaan penyalahgunaan kuota haji atau bukan, tak jelas. Tapi bisa juga dikaitkan begitu. Tapi KPK terkesan agak detail dalam penelusuran dugaan aliran dananya. Banyak pihak terkait dimintai keterangan secara maraton.

Sedikit berhayal. andai penantian panjang publik ini berakhir, dan KPK menetapkan tersangka dugaan korupsi penyalahgunaan kuota haji ini di lingkungan Kementerian Agama saat itu, artinya satu hal yang sudah pasti, drama merampok dana umat belum berakhir. Masih berlanjut.

Kita sudah tahu, ini bukan skandal pertama yang terjadi di Kementerian Agama, lembaga urusan amar maruf dan nahi munkar itu. Sejarah mencatat dua menteri agama sebelumnya, telah dipenjara karena korupsi pengelolaan haji, Said Agil Husin Al Munawar (Menteri Agama 2001-2004) dihukum 5 tahun penjara pada tahun 2006, dan Suryadharma Ali (Menteri Agama 2009-2014) dihukum 6 tahun penjara pada tahun 2014.

Mengutip Kompas [03/10], dana haji rawan dikorupsi. Dan potensi kebocorannya mencapai sekitar Rp 5 triliun per tahun, dari perputaran uang penyelenggaraan haji setiap tahunnya yang mencapai Rp 17 triliun - Rp 20 triliun. Dan karena alasan itu pula, Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf dan jajarannya harus bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK], untuk memastikan seluruh proses penyelenggaraan ibadah haji nanti berjalan sesuai ketentuan.

Saya sempat menulis awal tentang dugaan penyalahgunaan kuota haji ini, sejak pertama kali diusut KPK secara resmi. Judulnya, Dari Kitab Suci ke Kuota Haji, Runtuhnya Sendi Keyakinan Beragama di media Tandaseru.com, [13/08]. Saya menulis bahwa kitab suci Al-Qur'an, juga kuota haji bagi pemeluk Islam, adalah bagian penting dari instrumen dasar penopang keyakinan beragama itu. Mengusik dan mengganggunya dalam bentuk korupsi, sama artinya ikut meruntuhkan sendi-sendi keyakinan beragama umat. Di situ letak bedanya. Fakta berulang ini, di rasa cukup untuk tak lagi berspekulasi. Mungkin kita perlu mencobanya, menteri agamanya dari kaum yang tidak beragama. Dengan begitu, mungkin mereka lebih adil dan jernih mengeksekusi kebijakan untuk agama-agama.

Pimpinan Redaksi Fusilatnews Ali Syarief, dalam artikelnya berjudul, Korupsi di Wilayah Suci oleh Mereka yang Mengaku Paling Suci, menulis bahwa korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi ketika ia dilakukan di wilayah yang dianggap suci, oleh orang-orang yang mestinya menjaga kesucian itu, maka ia berubah menjadi kejahatan luar biasa. Itulah yang terjadi ketika Kementerian Agama, sebuah institusi yang mestinya berdiri di garda depan moralitas bangsa, justru tercatat dalam sejarah kelam: korupsi pengadaan Al-Qur’an dan penyalahgunaan kuota haji.

Ada logika yang menarik. Mengutip Gelora News [18/10], pegiat media sosial, Zulhilmi Yahya, ikut berkomentar mengenai polemik dugaan pelecehan pesantren oleh salah satu program Trans7 yang belakangan menuai aksi protes dari sejumlah santri dan kalangan pesantren. Dikatakan Zulhilmi, kesalahan Trans7 bisa jadi disebabkan oleh kualitas pengawasan (QC) yang kurang baik dan voice over yang dianggap terlalu menuding. Namun, Zulhilmi kemudian membandingkan kasus itu dengan dugaan korupsi kuota haji yang menurutnya justru lebih melecehkan nilai-nilai pesantren dan ormas Islam. "Tapi, korupsi kuota haji jauh lebih melecehkan pesantren, kiai dan ormas Islam," sesalnya. Katanya, kalau mau disamakan dengan Trans7, Yaqut Cholil Qoumas mesti minta maaf dan sowan juga ke 8.400 calon jamaah haji reguler yang batal haji.

Baca halaman selanjutnya...

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...