Membaca Kriminalisasi 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji dalam Bingkai Ekologi Politik dan Negara Oligarki
Kriminalisasi Maba Sangaji dan Negara Oligarki

Seperti dijelaskan Pierre Bourdieu (1990), kekerasan semacam ini bersifat simbolik, ia tidak selalu menampakkan diri sebagai peluru atau borgol, melainkan dalam bentuk delegitimasi wacana, di mana masyarakat adat dianggap “anti-kemajuan” dan “penghambat pembangunan”.
Padahal, pembangunan sejati tidak mungkin berdiri di atas penderitaan dan perampasan. Ketika pembangunan kehilangan dimensi moral dan ekologisnya, ia berubah menjadi rezim perampasan (regime of dispossession).
Membalik Arah Pembangunan: Dari Oligarki ke Ekologi
Kita perlu membalik paradigma pembangunan: dari extractive economy menuju ecological solidarity. Negara seharusnya tidak mengukur kesejahteraan dari pertumbuhan PDB atau nilai ekspor nikel, tetapi dari keberlanjutan hidup manusia dan alam.
Negara yang beradab bukan negara yang menghukum rakyatnya karena mencintai tanah airnya. Negara yang berdaulat adalah negara yang melindungi hak asasi ekologis rakyatnya, bukan menjadi pelayan korporasi global.
Maka, pembebasan 11 masyarakat adat Maba Sangaji bukan sekadar tuntutan kemanusiaan, tetapi syarat moral bagi negara untuk memulihkan legitimasi politiknya. Bila mereka terus dipenjara, maka sesungguhnya yang dipenjara bukan hanya rakyat, tetapi ruh keadilan ekologis bangsa ini.
Penutup
Sejarah akan mencatat, bahwa di satu masa ketika tambang dijadikan simbol kemajuan, ada sebelas manusia yang dipenjara karena membela hutan. Mereka tidak bersenjata, tetapi mereka membawa ingatan kolektif atas tanah yang telah lama dijaga dengan kasih dan doa.
Seperti kata Tania Murray Li, “When people are excluded in the name of development, what dies is not only their livelihood, but the very possibility of living differently.”
Yang mati di Maba Sangaji bukan sekadar pohon dan sungai, tapi kemungkinan lain untuk hidup di dunia yang adil dan ekologis.
Mereka harus dibebaskan, karena yang mereka pertahankan bukan sekadar tanah, tapi kemanusiaan itu sendiri. (*)
Komentar