Membaca Kriminalisasi 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji dalam Bingkai Ekologi Politik dan Negara Oligarki

Kriminalisasi Maba Sangaji dan Negara Oligarki

Sayuti Melik

Pendekatan ekologi politik (political ecology) membantu kita memahami bahwa konflik di Halmahera Timur bukan sekadar soal hukum atau lingkungan, tetapi soal kekuasaan atas ruang.

Siapa yang berhak menentukan makna “pembangunan”? Siapa yang berhak memutuskan bahwa nikel lebih berharga daripada hutan dan kehidupan masyarakat adat?

Dalam logika kapitalisme ekstraktif, ruang ekologis dijadikan ruang produksi kapital, bukan ruang kehidupan. Negara mengadopsi narasi “transisi energi hijau” untuk melegitimasi ekspansi tambang nikel, padahal, dalam praktiknya, yang terjadi adalah reproduksi kekerasan ekologis.

Sebagaimana dikritik Tania Murray Li (2015) dalam Land’s End, hubungan kapitalis di wilayah adat selalu lahir melalui “intimate exclusions” pengusiran yang dibungkus dengan bahasa pembangunan dan kemajuan.

Para pejabat daerah berbicara tentang investasi sebagai “berkah”, padahal bagi masyarakat adat, itu berarti kehilangan hutan, air, dan masa depan anak-anak mereka.

Negara Oligarki dan Kekerasan yang Dinormalisasi

Kekerasan terhadap masyarakat adat tidak akan berulang jika negara benar-benar berpihak pada rakyat. Namun dalam rezim oligarki, hukum berfungsi ganda: melindungi kapital, menaklukkan rakyat.

Ketika 11 warga Maba Sangaji dijerat dengan UU Minerba dan UU Darurat 1951, pesan politik yang disampaikan jelas: siapa pun yang melawan tambang adalah musuh negara. Negara menggunakan aparatus hukumnya sebagai alat legitimasi kekerasan struktural (structural violence).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...