Wajah Umum Masyarakat Malut Sebagai Wilayah Pertambangan

M. Sadli Umasangaji

Namun, di sisi lain, banyak orang beranggapan bahwa tambang membawa peluang ekonomi: membuka lapangan kerja, menghidupkan usaha kecil seperti kos-kosan, warung makan, kios, swalayan, hingga usaha jasa lain.

Para pekerja tambang juga menerima gaji besar yang menggiurkan, sehingga banyak orang tua mendorong anak-anak mereka bekerja di tambang.

Budaya masyarakat pun bergeser. Jika dulu orang tua berkata, “dari bertani anak kami bisa sekolah”, kini mereka berkata, “pergi kerja di tambang supaya dapat uang banyak”.

Cita-cita anak-anak muda pun berubah: setelah lulus SMA, mereka berbondong-bondong masuk tambang, bahkan sarjana yang menganggur rela antre menjadi pekerja tambang—yang pada praktiknya sangat bergantung pada koneksi orang dalam.

Dilema lain muncul dari budaya sosial sekitar tambang: meningkatnya perilaku menyimpang seperti seks bebas, perselingkuhan, perkelahian, bahkan bunuh diri. Kasus HIV di Maluku Utara pun meningkat seiring fenomena ini.

Lebih jauh, meski tambang menjanjikan kesejahteraan, kenyataannya masyarakat Maluku Utara masih berkutat dengan masalah gizi, kemiskinan, dan rendahnya pendapatan per kapita. Idealnya, sebagai daerah tambang, masyarakat merasakan peningkatan taraf hidup, bukan sebaliknya.

Seperti ditulis Ismunandar dalam Cerita dari Pesisir Nusantara: Ironi Orang Halmahera Timur (Indoprogress), masyarakat kerap menjadi korban sekaligus pelaku pembangunan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...